Waktu dan Modernitas

Waktu dan Modernitas

Oleh : Armansyah

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia ciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah karena Tuhanmu itu sangat mulia Yang mengajar dengan Qalam. Dia mengajar manusia apa yang mereka tidak tahu (QS AL-Alaq (96) : 1 s/d 5)

Perintah berpikir adalah perintah Allah dalam al-Qur’an, salah satunya silahkan lihat kembali akhir surah Yuunus ayat 5 : “Liqowmi ya’lamun” yang artinya, “Dia menjelaskan ayat-ayatNya bagi kaum yang mau mengetahui”. Ayat tersebut berlaku secara menyeluruh tanpa terkecuali, entah itu dalam aspek kehidupan beragama maupun bermasyarakat. Akal diberikan oleh Allah untuk berpikir, membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Tanpa akal, manusia tidak lebih dari sekedar hewan yang tidak pernah memikirkan benar salah tindakannya bahkan mungkin jauh lebih sesat daripada itu. Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul kedunia untuk memberikan petunjuk kepada manusia agar memilih jalan kebenaran, dan petunjuk Allah itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang mau untuk berpikir tentang hakikat kebenaran sejati.

Dan berpikir yang benar didalam penerimaan tersebut adalah berpikir yang tidak hanya merenung atau asal-asalan, namun berusaha untuk mengerti, mempelajari, menyelidiki, memahami serta mengamalkan dan alat untuk itu semua adalah akal. Menisbikan peranan akal pikiran untuk menggapai keimanan sama sekali tidak layak kita terapkan, sebab hal ini akan menyamakan kedudukan kita dengan para penyembah berhala yang tidak pernah mau tahu tentang benar salahnya keimanan mereka, yang jelas mereka harus menerima dan yakin. Jika sudah begini untuk apa wahyu diturunkan ? Untuk apa para Nabi dan Rasul diutus ? Untuk apa Tuhan menciptakan manusia ? Untuk apa Tuhan melimpahkan akal ? serta untuk apa Tuhan menjadikan kebenaran dan kebatilan ?

Ditetapkannya suatu keputusan kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman. Ibnu Taimiyah bahkan pernah mengatakan,

“Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)

Senada dengan Ibnu Taimiyah, Allamah Thabathabai, seorang filosof kontemporer terkemuka dari kalangan Ahli Bait berkata, “Adalah salah satu bentuk kezaliman dan kesesatan apabila kita memisahkan antara ajaran suci agama-agama dan filsafat transenden. Apakah agama bukan kumpulan dari makrifat-makrifat Ilahi, akhlak, dan hukum-hukum?

Apakah para Nabi dan Rasul tidak diperintahkan oleh Tuhan untuk mengajak, mendidik, dan mengantarkan manusia kepada hakikat kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki ? Apakah kebahagiaan dan kesempurnaan manusia tidak terletak pada pengajaran suci agama dan pemberian akal kepada manusia oleh Tuhan untuk menyingkap berbagai rahasia-rahasia alam, mencapai puncak kesempurnaan makrifat atas hakikat-hakikat eksistensi, dan menjalani kehidupan yang seimbang serta menjauhi segala bentuk penyikapan yang ekstrim atas dimensi-dimensi kehidupan di dunia?

Apakah manusia dapat menggapai pemahaman makrifat dan ilmu tanpa menggunakan argumentasi rasional, dalil akal, dan kontemplasi yang mana merupakan substansi dan hakikat manusia? Bagaimana dapat dikatakan bahwa ajaran agama Ilahi mengajak manusia menentang fitrah dan hakikat wujudnya sendiri serta menyeru manusia untuk menerima segala perkara tanpa dalil akal dan argumentasi rasional ? “

Akal secara bahasa berasal dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui. Ibnu Taimiyah berkata, “Defenisi akal sebagai menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.”

Keimanan kita didalam agama harusnya menjadi sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan.

Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan keagamaan seseorang adalah berbanding lurus dengan pemahaman rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama. Mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kaitannya berjalan diatas manhaj salaf as-Shalih sama sekali tidak membuat kita menolak cara-cara baru yang lebih memiliki nilai kebaikan dan kepastian ilmu untuk menyelami maksud-maksud nash keagamaan.

Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolak ukur kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikat dirinya.

Dengan demikian maka kalau keputusan orang-orang yang menyatakan metode hisab

atau rukyat bil’ilmi itu haram dan tercela sebagai hujjah penentu awal bulan baru bagi penanggalan Hijriyah khususnya lagi dalam kaitannya penentuan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal, maka mereka seharusnya tidak pula setuju dan ikut dalam hal penetapan waktu sholat setiap harinya, ataupun penentuan waktu imsak dibulan Ramadhan.

Mengapa dalam urusan menetapkan permulaan puasa dan hari raya kita berkeras harus melihat wujud bulan secara lahiriah dengan mata kepala ? Sementara diluarnya kita justru mengandalkan penglihatan berdasarkan ilmu?

Pada jaman kehidupan Nabi Muhammad Saw, oleh beliau orang diberi pimpinan bahwa waktu dzuhur adalah ketika kedudukan matahari telah tergelincir (sehingga telah membentuk bayangan) dan waktu ashar adalah ketika panjangan bayangan sama dengan panjang benda, dan demikian seterusnya sampai Ashar, waktu maghrib, semuanya dengan ukuran melihat matahari.

Pada waktu Isya diarahkan kepada para sahabat agar melihat hilangnya tanda merah ditepi langit hingga tengah malam begitupun pada waktu subuh orang supaya melihat terbit fajar sampai hampir terbit matahari.

Dari Jabir bin Abdullah meriwayatkan ” Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw lalu berkata: “Marilah sholat”. Lalu ia melakukan solat dzuhur di waktu matahari telah condong (tergelincir). Kemudian Jibril datang kepada Nabi di waktu Asar lalu berkata: “Marilah sholat”. Lalu ia solat Asar di waktu bayangan tiap-tiap sesuatu jadi sama panjangnya dengan keadaan dirinya.

Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw di waktu maghrib lalu berkata: ” Marilah Sholat” lalu ia solat Maghrib di waktu matahari telah masuk (terbenam). Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw di waktu Isya lalu berkata: “Marilah Sholat”. Lalu ia sholat Isya lalu berkata; ” Marilah sholat”. Lalu ia sholat Isya di waktu telah hilang tanda merah – di tempat matahari terbenam. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw di waktu fajar lalu berkata: “Marilah sholat” Lalu ia sholat Fajar (subuh) di waktu fajar telah terbit. Kemudian Jibril datang kepada

Nabi Saw pada esok harinya lagi di waktu dzuhur lalu berkata: “Marilah solat”. Lalu ia solat dzuhur, di waktu bayangan tiap-tiap sesuatu itu jadi sama panjangnya dengan keadaan dirinya. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw di waktu Asar lalu berkata: “Marilah sholat”. Lalu ia sholat di waktu Asar, di waktu bayangan tiap-tiap sesuatu itu jadi dua kali panjang daripada dirinya. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw di waktu maghrib yang sama waktunya dengan kemarin, lalu ia sholat maghrib. Kemudian jibril datang kepada Nabi Saw di waktu Isya, sehabis tengah malam, lalu berkata: “marilah sholat”. Lalu ia sholat Isya. Kemudian Jibril datang kepada Nabi pada waktu telah terang cuaca (sebelum terbit matahari). Lalu berkata: “Marilah sholat”. Lalu ia sholat fajar. Kemudian Jibril berkata: Antara dua waktu itulah waktu bagi tiap-tiap sholat.” (HR. Ahmad, Tarmizi, Nasa’I, Ibnu Hibban dan Hakim)

Klik untuk melihat lebih detil

Ilustrasi gambar kedudukan Matahari dalam kaitan waktu sholat

Demikian juga menyangkut berbuka puasa pada setiap harinya, orang diberi tuntunan supaya melihat tanda tenggelamnya matahari, dan waktu imsak sehabis makan sahur orang supaya melihat terbitnya fajar sebagaimana dinyatakan dengan jelas didalam al-Qur’an pada surah Al-Baqarah ayat 187, “Wakuluu wa(i)syrabuu hattaa yatabayyana lakumu (a)lkhaythu (a)l-abyadhu mina (a)lkhaythi (a)l-aswadi mina (a)lfajri … dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”.

Nyatanya, dijaman kita sekarang ini hampir bisa dipastikan bila semua orang Islam telah menunaikan sholatnya tidak lagi melihat kedudukan matahari begitupun mengakhiri waktu sahurnya berdasarkan jadwal yang telah ada dan dicetak melalui brosur, surat kabar, papan pengumuman dan lain sebagainya yang semua itu merupakan hasil perhisaban. Mari bersama ini, penulis mengajak setiap diri, khususnya yang mengharamkan hisab agar melakukan introspeksi. Masihkah diri kita mengikuti tuntunan Allah dan Nabi seperti yang kita sampaikan itu ?

Orang dijaman sekarang sudah lebih banyak mengikuti keputusan atau penetapan ahli hisab dimana mereka mengatur ketentuan waktu sholat, waktu berbuka dan berimsak setiap hari melalui jam, jadwal, program komputer semacam “shollu” dan sebagainya. Oleh karena itu, jika diantara kita masih banyak yang bersikeras bahwa penetapan untuk awal puasa dan awal syawal harus dengan ru’yat bil fi’li alias melihat visual bulan secara langsung, maka penulis mengusulkan hendaknya mereka dalam mengerjakan

sholat yang lima waktu setiap hari atau berbuka puasa dan berimsak harus benar-benar melihat matahari dan sebagainya sebagaimana diterangkan sebelumnya sebagai hal yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Nabi. Ini agar kita tidak pincang dalam berpikir dan konsisten dengan apa yang dipermasalahkan.

Siapapun boleh-boleh saja mengikuti pendapatnya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz atau juga Ibnu Taimiyah yang menurutnya mereka semua menolak dan mencela metode hisab karena beranggapan itu melanggar sunnah. Tidak ada paksaan dalam ajaran agama kita, tetapi harus disadari bila kedepannya kemungkinan besar akan terus beginilah kondisi yang ada diumat Islam ini. Kita tidak akan pernah menemukan kata sepakat dalam penentuan awal bulan baru, khususnya lagi untuk penetapan awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal.

Bagi Saya pribadi, hidup ini berproses, dari yang tadinya kita adalah seorang bayi kemudian berkembang menjadi batita lalu ke balita terus anak-anak, remaja, dewasa dan tua.

Artinya peradaban dan cara berpikirpun harusnya demikian, modernitas bukan berarti mengubah atau melakukan pelanggaran terhadap sunnah, modernitas harusnya diartikan sebagai mengaktualkan as-sunnah itu sendiri demi tercapainya kemaslahatan yang lebih baik dari sebelumnya, apalagi nyata-nyata dalam hadis yang berkaitan dengan perhitungan perjalanan bulan pada topik kita ini memiliki indikasi kuat dari Nabi akan terbukanya metode lain dalam hal penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal bila syarat-syaratnya sudah tercukupi. Bagaimanapun, eksistensi dari Nabi Muhammad tidak mungkin lepas dari sifat kemanusiaannya yang terikat oleh waktu dan kondisi serta kontektualitas sosiologisnya.

Silahkan membaca lanjutan artikel ini : Hisab sebuah kemutlakan dalam penentuan Ramadhan dan aplikasi kalendarisasi lainnya

Wassalam.,

Armansyah
Palembang