Stop tidak percaya covid19

Ujungnya ini bisa perang saudara…. Terlalu banyak narasi yang saya anggap offside terkait pandemi ini.

Yang dulu cebong atau yang dulu merasa di kampretkan dan pernah sama berjuang dititik yang sama… hari ini semakin kebablasan.

Buzzer dan tak buzzer sudah sama gilanya. Yang satu sibuk menjilat junjungannya dan yang satu lagi sibuk menafi-nafikan pandemi, provokasi terkait pandemi sebagai settingan dan seterusnya.

Lama-lama muak bacanya… Jujur.

Yang bilang covid19 itu settingan pengen rasanya mau saya tabok wajahnya sampe terjengkang. Gak perduli mau profesimu apa, atau seberapa tinggi pendidikan formalmu… Saya katakan bila ada gejala kejiwaan pada dirinya. Rasa kemanusiaan, empati dan akal sehatnya sudah terlalu dibelenggu oleh rasa benci yang berlebihan terhadap rezim di republik ini.

Covid19 itu nyata ada. Makanya main kalian jauhan sedikit. Jangan terbatas bergaul pada grup-grup yang isinya hanya status provokatif dan kebencian masa lalu saja.

Dari awal pandemi 2020 lalu saya sering share berita-berita luar negeri terkait wabah ini disana.

Covid19 bukan cuma ada di Indonesia, tapi menjangkit juga dihampir seluruh daratan dunia lain. Ya china, ya amerika, ya prancis, ya italia, ya qatar, ya brunei, ya arab saudi, ya australia, ya korea, dan sebagainya.

Kalau kalian mau mengkritisi kebijakan ppkm, psbb atau genap ganjil… Ya proporsional saja. Kritisi apa yang memang jadi obyek bahasannya. Tapi bukan menafikan coronanya.

Kalian mau kritisi soal perdagangan vaksin, misalnya ya kritisilah. Tapi jangan memprovokasi orang agar menolak vaksin.

Dari jauh hari jika anda ingat saya sendiri sudah memprediksi bahwa vaksin covid ini pasti akan jadi ajang perbisnisan.

Tapi mau bagaimana lagi? Sudah jadi konsekwensi logisnya toh?

Jangankan vaksin.

Obat flu saja dibisniskan kok. Tuh ada namanya Procold, Mixagrip, Bodrex flu dan batuk, dextral, flucold, sanaflu dan sebagainya

Lah obat-obatan herbal saja banyak merk dagang…. Coba searching saja di google tentang minyak zaitun, qusthul hindi atau madu… Lihat ada berapa ratus merk dagang ? Dijual khan? Dibisniskan khan?

Tak ada beda toh? Bahwa penyakit covid19 ini memang ada sudah menjadi fakta. Begitupun banyak yang terpapar, dirawat bahkan meninggal juga fakta.

Buka mata kalian, buka hati kalian.

Jangan baca persentase hidup dan matinya sebab negeri ini luas dari ujung ke ujung. Jangan samakan dengan singaoura atau malaysia yang luasnya tak seberapa dari Indonesia.

Jika baca angka persentase ya pasti kalian akan melihat selisih yang jauh. Tapi buka data itu… Sekian persen dari berapa juta jiwa? Berapa jumlah yang harus jadi korban?

Banyak ulama kita sudah pergi akibat covid19 ini. Mau seperti apa lagi menyadarkan kalian bahwa pandemi ini memang berbahaya?

Narasi kalian yang menyepelekan itu justru lebih berbahaya. Dapat membuat banyak orang terpedaya dan jadi korban.

Kalian secara tak langsung ikut bertanggung jawab terhadap ini semua.

Memang kita tak boleh paranoid tapi bukan pula menafikan atau meremehkannya.

Dua bulan lalu saya pernah tes anti gen padahal kondisi saya ya flu ringan biasa karena kecapean kesana kemari melakukan bekam siang dan malam… Tapi hasilnya negatif. Saya tidak dinyatakan covid.

Jadi tak benar prasangka bahwa setiap rumah sakit pasti mengcovidkan orang sakit. Kitanya saja terlalu menggeneralisir masalah.

Ada orang sakit jiwa bikin pernyataan kontroversial soal covid dan aparat memberikan sikap yang tegas langsung berbondong-bondong dibela … Dianggap zalimlah, mengekang kebebasan pendapatlah.

Pret.

Kalian sudah baca makian-makiannya terhadap Anies Baswedan yang sering digadang-gadang sebagai calon pemimpin bangsa masa depan? Cari sendiri dan baca. Bagaimana orang sakit jiwa itu membully kebijakan Anies terkait ppkm.

Masih mau bela dia?

Kali ini saya memang sedang marah… Marah sendiri karena sudah muak baca status kalian yang kelewat offside, padahal sejatinya kalian itu satu garis perjuangan awalnya.

Covid tetap ada meski kalian tak memberitakan. Covid tetap ada meski kalian bilang stop swab sweb segala macem.

Hamil ya tetap hamil saja walau kalian tidak memberitakan kehamilan itu. Hamil ya hamil saja meski kalian menolak untuk dilakukan test pack.

Paham?

Kritisilah kebijakan politik yang memang kalian anggap memudhorotkan rakyat, tapi please jangan cuci otak orang awam tentang bahaya covid19 ini. Kalian sangat tidak mengedukasi.

Masjidil Haram sempat lockdown dan sekarang masih membatasi jemaah haji serta tawaf maupun sholat memberlakukan social distancing, apa juga akan dibilang antek dajjal dan pro komunis?

Keblinger.

Awam boleh, goblog jangan.

Armansyah

Antara doa dan ikhtiar: Pengobatan Tradisional dan Modern

Oleh. Armansyah, M.Pd

Jadi begini… mungkin tulisan ini dapat menyinggung “rasa” keberagamaan bagi sebagian pihak. Terlebih dahulu. Maafkan saya.

Kita kerap merasa bahwa hubungan kita dengan Allah sangat dekat. Kita merasa selalu ada dijalan-Nya. Berbuat amal shaleh yang ditetapkan-Nya. Apapunlah itu, ya sholatnya, ya puasanya, ya sedekahnya ya memelihara anak yatimnya bahkan sampe menghajikan dan mengumrohkan orang lain. Intinya full ketaatan kita itu. Makanya kita –sekali lagi– merasa sangat intim dengan Allah.

Kita akhirnya tidak aware terhadap situasi yang berkembang. Kita MERASA akan selalu dilindungi Allah karena niat kita baik.

Akhirnya ketika Allah mengizinkan suatu kejadian terjadi pada diri kita, apapun bentuk musibahnya, termasuk contohnya saat ini sebut saja kita misalnya terkena paparan covid19, kita malah berbalik jadi kelompok denialis (bahasa saya). Kelompok kaum yang ingkar (bahasa agamanya). Betray bahasa film hollywoodnya.

Kita terpapar sindrom denial, yaitu kelompok  orang-orang yang berupaya menyangkal fakta yang terjadi.

Kenapa? Karena itu tadi… kita MERASA selalu berbuat baik. Kita MERASA Allah PASTI akan selalu melindungi kita dari kejadian buruk yang berlaku.

Akhirnya orang-orang seperti ini berusaha mencari alibi atau mencari pembenaran dari mana saja yang dianggapnya bisa mendukung RASA-nya tadi itu.

Ibarat kita sudah tenggelam dilaut, apapun yang terlihat pasti akan coba diraih dengan harapan bisa menyelamatkan kita dari ketenggelaman.

Ketika dihadirkan fakta-fakta kepada mereka, ya itulah.. Denial. Di ingkari.

Mereka bilang ini cuma ujian dari Allah, cukup baca doa-doa saja. InsyaAllah sembuh.

Ya tidak sepenuhnya salah sih, tapi ada hal yang mungkin perlu dipikirkan ulang oleh mereka.

Jika kita bilang sayang-sayangan dalam perspektif kemanusiaan nih ya, saya percaya pasti kita sepakat Allah sayang banget sama Rasulullah.

Pasti Allah akan selalu melindungi setiap langkah beliau SAW.

Sepakat khan?

Dan kita tahu, Rasulullah punya banyak mukjizat seperti Nabi-nabi lain terdahulu.

Sepakat khan?

Dan kita juga tahu, bila Rasulullah umpamanya berdoa untuk sesuatu, pasti doa beliau SAW akan dikabulkan Allah.

Kita ambil contoh kecil saja, saat Madinah dilanda kekeringan, Rasul doa minta hujan langsung dikabulkan. Waktu Rasul berdoa agar Umar masuk Islam, dikabulkan. Waktu Rasul berdoa diperang Badar agar menang melawan kaum kafir quraisy, Allah kabulkan. Dan seterusnya sebagaimana bisa kita kulik-kulik sendiri dalam kitab-kitab hadist maupun sirah nabawiyah.

Tapi… Nah, ini kita mulai masuk bahasannya.

Apakah dengan semua perangkat yang dimiliki oleh Rasulullah ini membuat Beliau SAW menjadi melepaskan ikhtiar insaniyahnya saat menghadapi persoalan?

Tentu kita lagi-lagi sepakat jawab, tidak.

Padahal kalo Rasul mau, bisa saja toh umpamanya setiap Rasul sakit langsung angkat tangan doa pada Allah minta disembuhkan? Dan Allah tak perlu hijab apapun untuk mengijabah permintaan Rasul yang dikasihi-Nya.

Tapi apa yang begini ini kita dapatkan pelajarannya dari sunnah nabawiyah?

Nggak!

Apa Rasul juga –katakanlah– selalu mengandalkan mukjizat Beliau seperti kasus penyembuhan sakit mata yang diderita oleh Sayyidina Ali kala hendak ditugaskan untuk pembebasan benteng Khaibar? Sakit dikit, tiup dan ludahi lalu beres semua keluhan?

Atau setiap merasa sakit selalu memanggil Malaikat Jibril untuk di ruqyah seperti asbabul wurud dari munculnya doa Bismillahi Arqiqa min kulli syai’in yu’dziika… dan seterusnya?

Jawabnya juga : Nggak !

Padahal apa yang menghalangi jika Rasul hendak berbuat demikian? Segala kekaromahan ada pada beliau. Dia wali diatas semua wali Allah, sebab Beliau adalah Khataman Nabi, Nabi penutup, Nabi akhir jaman, Nabi yang sejak awal kelahirannyapun banyak mukjizat terjadi.

Saat kesulitan menerpa beliau, Malaikat Jibril bisa saja hadir mendampingi beliau seperti kasus tawaran membalikkan bukit uhud pada orang-orang yang menolak dakwahnya.

Tapi mekanismenya tidak setiap kali begitu. Bahasa kerennya, just in case saja.

Seringnya saat Beliau mengeluh sakit, beliau minta dibekam orang lain. Dan ini bukan hanya sekali dua kali terjadi. Bahkan beliau menggariskan tanggal-tanggal terbaik untuk berbekam pada umatnya setiap bulan. Dan manakala ada yang datang mengeluhkan sakitnya, beliau juga kerap menyuruh merekapun berbekam.

Cukup bekam saja?

Ya Enggak juga … Buktinya Nabipun mensunnahkan agar mengkonsumsi madu, habbatussauda, qusthul hindi, melakukan gurah dan lain-lain. Meskipun 2 pengobatan utama yang beliau SAW sangat utamakan adalah hijamah/bekam dan madu.

Artinya apa? Kita tidak dapat menafikan fakta bahwa manusia sekelas Rasul saja jika sakit beliau berikhtiar secara fisik untuk membebaskan dirinya dari keluhan yang beliau derita.

Rasul tak sekedar angkat tangan berdoa semata. Rasul tak menjadikan mukjizat sebagai fitur yang bisa beliau gunakan bebas setiap kali.

Jadi kita bila sakit, ya berobat. Ikhtiar secara fisik. Jangan hanya mencukupkan diri pada doa-doa saja.

Kenapa? Sebab seperti itulah Rasul mencontohkan ikhtiarnya.

Berobat seperti apa? Ya fleksibel saja. Selama mampu mengikhtiarkan secara nabawiyah, lakukan.

Amalkanlah hijamah secara periodik seperti tuntunan beliau. Ikuti dengan terapi-terapi thibbun nabawi lainnya.

Bila memang kondisi memaksakan kita untuk menambah pengobatan secara medis… Ya lakukanlah juga.

Jangan mengunci pikiran kita semata pada thibbun nabawi saja dengan mengabaikan pengobatan kedokteran modern.

Adanya beragam bentuk therapi yang dicontohkan oleh Nabi bisa ditangkap sebagai isyarat lain dari bolehnya kita berobat dengan banyak cara. Tanpa meninggalkan cara-cara utama.

Jadi bila sakit ke rumah sakit, ya sangat bolehlah bila itu memang mengharuskan kita melakukannya. Toh dirumah sakit itu juga tempatnya para akademisi kesehatan yang professional dibidang kepakarannya masing-masing dengan jam belajar, jam penelitian serta jam terbang praktek kedokteran yang tinggi.

Jika ada satu dua oknum dokter menyeleweng ya tak usah digeneralisir semua dokter pasti sama seperti mereka. Atau satu dua oknum memanipulasi obat dan alat kesehatan… Ya itulah oknum, tidak mewakili keseluruhan. Atau ada satu dua dokter menyepelekan thibbun nabawi sehingga kita anti sama dokter… Ini pun salah. Tidak semua dokter begitu. Faktanya di PBI (Perkumpulan Bekam Indonesia) mulai secara struktur maupun keanggotaan justru ada banyak dokter didalamnya. Ya dokter umum, dokter anastesi, spesialis kandungan, spesialis jantung, dan sebagainya. Malah gelar kesarjanaan mereka panjang bak rel kereta api sebagai bukti sampai sejauh mana wawasan keilmuan medis mereka.

Saya dan isteri punya banyak sahabat yang berprofesi sebagai dokter. Mereka semua baik. Komunikasi kita juga baik. Hahahihi saja kalau ngobrol sama mereka. No problem at all.

Ini fakta yang hendak saya sampaikan… Jadi, kita jangan terus bermain diwilayah rasa-rasa. Sebab hakekat RASA itu berbanding lurus dengan PERIKSA.

Jika kita merasa dekat dengan ALLAH, ya maksimalkan usaha. Jangan membutakan mata hati. Terimalah fakta. Jangan mengeraskan hati. Stop jadi kaum denial.

Bila sakit, ya wajib berdoa pada Allah mohon kesembuhan. Panjangin dzikirnya. Tapi jangan pernah mengabaikan ikhtiar berikutnya, cari jalan-jalan pengobatan atas sakit fisik itu secara ukhrowi, secara duniawi. Baik melalui thibbun nabawi atau secara medis. Atau mungkin melakukan keduanya.

InsyaAllah kita semua mampu melewati pandemi ini.

Noted. Foto terlampir disini adalah foto lama 2014. Saat saya dirawat di rumah sakit Islam Siiti Khadijjah (dengan bekas bekam masih terlihat di wajah) serta foto baru saya bersama salah seorang dokter senior di Palembang yaitu Dokter Burlian Abdullah, ketua pembina yayasan Rumah Sakit Islam Siti Khodijjah ketika beliau mengundang kami untuk memberikan therapi bekam terhadap beliau yang sedang sakit. (Saya pernah menulisnya disini : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=186935339457503&id=100044231145361)

Saat 2014 saya sempat dirawat inap disalah satu rumah sakit
Bersama dokter Burlian Abdullah dan Isteri

Armansyah

Praktisi Thibbun Nabawi

Anggota PBI

Tinggal di Palembang

Hikmah para hamba

Dalam literasi Islam, iblis mengira dengan menjebak Adam memasuki perangkapnya akan membuat Adam ternista dan menanggung beban dosa turunan.

Padahal sesungguhnya justru melalui peristiwa itu menjadi isyarat bahwa rencana Allah semula untuk menjadikan Adam sebagai Khalifah terwujud secara kausalita.

Apakah Adam ternista sesuai pemikirannya iblis? Tidak. Adam memang turun kedunia beserta isterinya, namun bukan atas rencananya iblis apalagi membuat posisinya menjadi hina.

Adam turun kedunia karena memang dari awal penciptaannya memang ditujukan untuk mengelola sumber daya alam dan memanajerial dunia.

Adam dan keturunannya tak menanggung beban dosa bawaan apapun.

Adam yang alfa dari peringatan Tuhan, langsung diampuni pada detik ia sadar dan bertaubat. Sementara iblis yang melakukan makar pada akhirnya cuma menjadi oecundang hingga hari kiamat.

Terkadang ada peristiwa-peristiwa besar memilukan terjadi diluar kehendak maupun keinginan kita…. sabar, kita tak paham skenarionya Allah.

Selalu ada kebaikan dan tujuan dibalik kejadian demi kejadian yang berlaku atas hamba-hambaNya, khususon hamba-hamba pilihan yang sholeh.

Bukankah dahulu seorang Yusuf juga pernah dikubur didalam sumur oleh saudara-saudaranya hanya karena iri? Dan bukankah sesudahnya Yusufpun masih harus terfitnah dan mendekam dalam penjara atas sesuatu yang ia tak perbuat?

Lalu bagaimana kesudahannya? Bagaimana ending kisah Nabi Yusuf? Derajatnya diangkat oleh Allah. Tidak cuma menjadi kaya, namun juga penguasa yang bahkan saudara-saudaranya dulu itupun berlutut dihadapannya.

Ada lagi cerita diabad modern tentang Buya Hamka. Ulama besar dari Minangkabau yang sampai hari ini namanya tetap harum dan dihormati.

Lihat bagaimana beliau difitnah dan dipenjara oleh rezim soekarno tanpa alasan hukum yang jelas.

Bagaimana kesudahannya? Apa hikmahnya? Semua berakhir happy ending dari sisi Hamka. Penjara tak membuatnya lalai dari mengingat Allah, bahkan tafsir Al-Azhar dirampungkannya didalam sel penjara. Dan ketika soekarno mati, ia dengan rendah hati memimpin sholat jenasahnya.

Lalu bagaimana dengan akhir kisah pejuang dari Mega Mendung? Kita tunggu saja. Roda kehidupan sedang berputar. Sunnatullah tengah berjalan kearah yang sama.

Armansyah, M.Pd