Hukum Baiat

HUKUM BAIAT

Oleh : Armansyah

Baiat adalah sebuah sikap ketertundukan dan kepatuhan kita atas diri seseorang yang disepakati untuk menjadi pemimpin kita dan sekelompok orang lain atas dasar tujuan tertentu.

Dan menurut saya, selama tujuan itu tetap menjadi anak tangga untuk melangkah kepada kebenaran yang universal maka baiat bisa dibenarkan, namun perlu di-ingat, ini bukan untuk mengeklusifkan kebenaran itu sendiri sehingga mendeskreditkan nilai-nilai kebenaran lain yang ada diluar kelompoknya.

Kebanyakan dari kita sering bertindak terlalu apatis terhadap kebenaran yang diungkapkan oleh orang lain, terlebih jika orang tersebut memiliki cara pandang yang berseberangan dengan apa yang kita yakini kebenarannya. Padahal belum tentu semua yang ada dalam pemikiran orang tersebut salah dan sebaliknya belum tentu juga setiap pikir dan tindakan kita bernilai benar; bisa saja kita bersikap konsisten terhadap nilai-nilai yang kita anut sehingga kita menyebutnya sebagai sebuah kebenaran namun bukan tidak mungkin konsistensi kita tadi hanya ilusi dimana pikiran kita sesungguhnya berjalan sesuai pola logika yang bisa bergeser dan menyimpang.

Pikiran kita memang seringkali tidak menyimpang kalau kita bandingkan dengan standar kita sendiri. Padahal standar kita dibentuk oleh pikiran kita yang bisa jadi pula dipengaruhi oleh orang lain. Jadi, maksud saya acapkali pikiran kita ternyata hanya tidak menyimpang dari pikiran kita sendiri atau kelompok dimana kita berkomunitas.

Allah menjadikan kita lengkap dengan panca indera berikut fungsinya adalah untuk menangkap dan menyerap semua nilai-nilai kebenaran yang berserakan disemesta raya, ini adalah tools atau alat yang harus dioptimalisasikan penggunaannya.

Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi ? padahal mereka mempunyai hati yang dengan hati itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar; Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. – Qs. 22 al-Hajj : 46

Bahwa persaksian akan ke-Islaman seseorang itu pada kontekstual historisnya berlaku dengan keberadaan seorang Imam ( dalam hal ini mengacu pada sosok Rasululullah Muhammad Saw ). Akan tetapi apakah ini bisa diartikan bahwa Islam memiliki ketergantungan dengan keberadaan seseorang ?

Sekarang, konteks Imam dan Jemaah model mana sih sebenarnya yang dimaksudkan oleh Rasul dalam banyak hadisnya ? apakah permodelan ala Ahlussunnah wal Jamaah kah ? apakah model Syiah dengan ” Imamiah ahli Bait-nya ” ? apakah mengacu pada model Khalifatul Masih ala Ahmadiyah kah ? ataukah mengacu pada model jemaah-jemaah lain diluar itu ?

Lepas dari hal tersebut, pada dasarnya ajaran Islam ini sangatlah universal … benar bahwa dia membutuhkan sosok-sosok pribadi tertentu untuk menjelaskan dan menyampaikan wahyu ilahiah kepada manusia lainnya, akan tetapi orang-orang pilihan ini tetaplah juga manusia yang terikat dengan fitrah dan kausalitasnya. Suatu saat mereka pasti mati dan dijaman kita sekarang seperti inilah faktanya. Para Nabi sudah sejak lama wafat meninggalkan kita .. tidak ada Nabi yang masih hidup sampai hari ini, termasuklah dia Nabi Khidr dan Isa al-Masih sebagaimana banyak didongengkan oleh orang-orang.

Status ke-Islaman kita, status kebersaksian kita sepeninggal Rasul adalah beralih langsung kepada Allah Azza Wajalla … tidak ada pemusatan kepada seseorang … karena didalam Islam memang tidak ada sistem kependetaan … jikapun pada masanya kita bersaksi dihadapan Rasul …. itu tidak lebih karena fungsi dan tugas mereka semasa hidupnya memang mengharuskan seperti itu. Akan tetapi sepeninggalnya ?

Firman Allah :

” … dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Meyaksikan
atas segala sesuatu “. -Qs. al-Ma’idah 5:117

Secara historis, ayat ini merupakan kesaksian ( pernyataan ) dari Isa al-Masih mengenai status keimanan umatnya ( Bani Israel ) dan semua pertanggung jawaban mereka atas semua risalah yang pernah disampaikan kepada mereka sepeninggal beliau nantinya ( konteks ayat sekali lagi secara historis mengacu pada waktu beliau bicara ).

Akan tetapi ayat ini ( atau perkataan dari Isa al-Masih ini ) diulang oleh Nabi Saw dalam hadis beliau ketika menjelaskan mengenai telaga Haudh, dimana pada hari kiamat kelak sekelompok orang dari umatnya ( beberapa literatur lain menyebutnya sebagai sejumlah sahabat ) digiring keneraka dan ketika Nabi bertanya dijawab bahwa mereka sudah ingkar kepada Rasul sepeninggal beliau dan akhirnya beliau berlepas diri dari mereka.

Shahi Bukhari Vol 6, Book 60. Prophetic Commentary On The Qur’an (Ta…. Hadith 149.

Narrated By Ibn Abbas: Allah’s Apostle delivered a sermon and said, ” Some men from MY FOLLOWERs will be brought and then (the angels) will drive them to the left side (Hell-Fire). I will say. ‘O my Lord! (They are) my companions!’ Then a reply will come (from Almighty), ‘You do not know what they did after you.’ I will say as the pious slave (the Prophet Jesus) said: And I was a witness over them while I dwelt amongst them. When You took me up. You were the Watcher over them and You are a Witness to all things.’ ( 5.117) Then it will be said, “These people have continued to be apostates since you left them.”

Diriwayatkan dari Ibn al-Mussaiyab: sahabat-sahabat Nabi berkata, sesungguh Nabi SAW bersabda: Sebilangan lelaki daripada sahabat-sahabatku menghampiri telaga Haudh dan mereka digiring jauh daripadanya dan aku akan berkata: Wahai Tuhanku, sahabat-sahabatku (Ashabi). Dikatakan: Engkau tidak tahu apa yang mereka telah lakukan selepas engkau meninggalkan mereka; mereka murtad sepeninggalan engkau. – Riwayat Bukhari

Selain hadis diatas, secara online juga bisa dibaca hadis-hadis sejenis :

Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Aku akan mendahului kalian berada di telaga dan niscaya aku akan bertengkar dengan beberapa kaum namun aku dapat mengalahkan mereka lalu aku berkata: Wahai Tuhanku, tolonglah sahabat-sahabatku, tolonglah sahabat-sahabatku. Lantas dikatakan: Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka perbuat sepeninggalmu – Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 4250 sumber : http://hadith.al-islam.com/bayan/display.asp?Lang=ind&ID=1322

Hadis riwayat Asma binti Abu Bakar ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Aku berada di tepi telaga untuk melihat siapa saja di antara kalian yang akan minum dari telagaku. Dan akan ada sekelompok manusia yang akan dihalangi lalu aku bermohon: Wahai Tuhanku, mereka adalah sebagian dari diriku dan termasuk umatku. Kemudian dikatakan: Tidak tahukah engkau apa yang telah mereka perbuat sesudahmu? Demi Allah! Mereka langsung kembali kepada kekafiran sepeninggalmu. Kata seorang perawi, Ibnu Abu Malikah berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kembali kepada kekafiran atau dari cobaan terhadap agama kami – Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 4245 sumber : http://hadith.al-islam.com/bayan/display.asp?Lang=ind&ID=1320

Kesaksian … disatu sisi memang harus ada obyek dan subyek.
Makna syahadat dalam keberimanan itu adalah sesuatu yang kompleks, yaitu adanya integralisasi antara perbuatan dengan perkataan.;

Saat seseorang mengatakan dia beriman ( artinya disini dia mengakui Allah Tuhannya dan Muhammad Nabinya atau lebih umumnya dia beragama Islam ), harusnya dia mencerminkan syahadat itu dalam kesehariannya sehingga memang terbukti bahwa dia adalah orang Islam ( orang yang mengakui, orang yang memberikan kesaksian mengenai kebenaran akidahnya ).

Firman Allah :

Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat perkerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan”. -Qs. 9 at-Taubah :105

Bekerja dalam konteks keagamaan kira-kira adalah : Buktikanlah bentuk kesaksianmu atas akidahmu itu… nanti biar Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mu’min lain yang akan menjadi saksi kebenaran dari ke-Islaman kita.

Jadi kesaksian mengenai status keberimanan itu memang tidak terpusat pada satu orang secara khusus apalagi sampai harus berbaiat kepadanya sebagai tanda beriman atau Islam.

Sesuatu yang simple sebaiknya jangan dibuat susah …

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesukaran bagimu – Qs. 2 al-Baqarah : 185


Memang dari pengalaman yang telah terjadi, ada indikasi anda sedang diarahkan pada sebuah konsep “imamiah” atau jemaah tertentu yang bisa jadi “meninggikan pimpinan” pengajian tersebut atau orang yang menjadi pusat baiat.

Waspada saja … sekarang banyak beredar pemahaman yang aneh-aneh ditengah masyarakat yang mengatas namakan Allah dan Rasul-Nya … Istiqomah saja.


Salamun ‘ala manittaba al Huda

ARMANSYAH

Tulisan yang ditanggapi :
On Dec 11, 2007 11:52 AM, Suprapto <prapto01@sda.japfacomfeed.co.id> wrote:

Assalamu’aikum warahmatullahi wabarakatuh

Dengan hormat,
Tolong saya dijelaskan mengenai baiat sekaligus dalil dan hukum2nya,karena
saya pernah ikut pengajian di salah satu jama’ah dan ujung2nya saya harus
mengikuti baiat.Saya juga pernah dapat keterangan dari salah satu ustadz
kalau Baiat hanya untuk pada jamannya Nabi Muhammad SAW saja, tolong saya
dibantu untuk penjelasannya

Salam
Suprapto

Hukum Mencukur Jenggot

Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui. (QS. 7:33)

Ada banyak kasus dimana orang sering berfatwa tanpa menggali lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengannya. Kadang sesuatu yang tidak disukai oleh Nabi dianggap oleh sekelompok orang sebagai bentuk haramnya sesuatu itu bagi orang lain. Ini sudah terjadi sejak masa para sahabat dahulu. Contoh lain yang bisa saya angkat selain jenggot adalah kasus larangan memakan bawang atau himar (yang terakhir ini terjadi sewaktu peperangan Khaibar). Kedua hal tersebut ternyata setelah saya gali dan gali dengan lintas literatur ternyata hanya bersifat sepihak dan kondisional. Bawang misalnya, ada riwayat dimana Nabi pernah ditanya status hukumnya dan beliau menjawab bahwa beliau tidak punya hak mengharamkan sesuatu yang sudah dihalalkan Allah, hanya beliau tidak menyukai baunya. Begitupun dengan memakan himar diperang Khaibar, menurut Ibnu Abbas itu sifatnya temporari atau sementara karena terbatasnya jumlah himar dan kegunaannya waktu itu yang lebih penting bagi kaum muslimin sehingga Nabi mengeluarkan kebijakan tersebut.

Jenggotpun adalah demikian dalam perspektif saya.
Meski saya lebih sering membiarkan jenggot ini tumbuh dibawah dagu, tetapi terkadang sayapun memangkasnya untuk kerapian atau menghilangkan gatal yang melanda.
Tapi memang jenggot saya ini susah diatur, baru dicukur habis hari ini maka 2 atau 3 hari kemudian sudah mulai menyemut lagi.

Bagaimanapun, jika ini memang suatu kewajiban yang bersifat mutlak, maka pengaturannya akan dicantumkan dalam al-Qur’an sebagaimana pemakaian jilbab/hijab bagi kaum wanita,.

Demikian sementara.

Tulisan yang ditanggapi :

2008/2/12 Aris H <aris.hardi@gmail.com>:

– Hide quoted text –
sampai hari ini saya masih mencukur jenggot….dan jika jenggot panjang dikit sudah langsung saya tebas…..saya memahami hadis tersebut dari segi tersirat dan bukan yang tersurat, menurut saya ini hanya masalah khilafiah saja…maaf atas keterbatasan ilmu saya…

2008/2/11, Liana <lianawati_snd@yahoo.co.id>:

– Hide quoted text –

Ada temanku meskipun usianya sudah diatas 20 thn tapi katanya janggut/
kumis tidak dapat tumbuh.
Lantas bagaimana ya dia?

On Feb 11, 5:52 pm, “Dani Permana” <adaniperm…@gmail.com> wrote:
> Bagaimana menurut anda, karena betapa banyak umat Muslim yang akan terjerat
> oleh dosa dengan “Fatwa Haram berikut dibawah”?

HUKUM MENCUKUR JENGGOT

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
http://www.almanhaj.or.id/content/1031/slash/0

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Mohon pencerahan dari yang mulia mengenai penjelasan hukum mencukur jenggot atau mengambil sesuatu darinya serta apa saja batasan jenggot yang syar’i itu?

Jawaban
Mencukur jenggot diharamkan karena merupakan perbuatan maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini, beliau bersabda.

“Artinya : Perbanyaklah (perlebatlah) jenggot dan potonglah kumis (hingga habis)” [1]

Demikian pula (diharamkan), karena hal itu keluar dari petunjuk (cara hidup) para Rasul menuju cara hidup orang-orang majusi dan orang-orang musyrik.

Sedangkan batasan jenggot sebagaimana yang disebutkan oleh ahli bahasa, yaitu (mencakup) bulu wajah, dua tulang dagu dan dua pipi. Artinya, bahwa setiap yang tumbuh di atas dua pipi dan dua tulang dagu serta dagu maka ia termasuk jenggot.

Adapun mengambil sesuatu darinya termasuk ke dalam perbuatan maksiat karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Perbanyaklah/ pertebalah jenggot”, “Biarkanlah jenggot memanjang”, “Perbanyaklah jenggot”, “(Sempurnakanlah –biarkan tumbuh lebat jenggot”).

Ini semua menunjukkan bahwa tidak boleh hukumnya mengambil sesuatu darinya, akan tetapi perbuatan-perbuatan maksiat terhadap hal itu berbeda-beda ; mencukur tentu lebih besar dosanya dari sekedar mengambil sesuatu darinya karena ia merupakan penyimpangan yang lebih serius dan jelas dari pada mengambil sesuatu saja darinya.

[Kitab Risalah Fi Shifatin Shalatin Nabi, hal. 31]

Belajar Ikhlas

“Belajar untuk ikhlas”, kata-kata tersebut kedengarannya sederhana dan tidak asing ditelinga.
Tetapi apakah kita telah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari …?

Benarkah kita sudah ikhlas dalam bertindak (amal serta tingkah laku) ?

Suatu hari istri saya pernah mengeluh ketika ada seorang bapak-bapak secara langsung mendebatnya dengan sengit isi dari buku saya “Rekonstruksi Sejarah Isa al-Masih”, dia mengatakan yang intinya adalah “Aku tidak mau membaca buku apapun kalau bukan bukunya Ahlussunnah sebab pasti sesat !”

Berbagai kata-kata serangan ditujukan sibapak kepada istri saya pada kesempatan tersebut … setelah sekian waktu debat sana debat sini akhirnya istri merasa semua hanya akan menjadi debat kusir dan berkata, “Ya sudah pak, kalau bapak tidak menerima apa yang ditulis oleh suami saya dibuku ini, kenapa bapak harus mencelanya ? padahal bapak belum membaca isinya tapi bapak sudah bilang buku ini salah … sekalipun bapak benar tetapi apakah sikap bapak yang mencelanya bisa dibenarkan dari sisi syar’i ?”

Konon wajah sang bapak naik pitam … istri saya lalu permisi setelah sebelumnya menyalami beliau secara baik-baik.

Kemarin, hari Minggu, saya mengadakan bedah buku Rekonstruksi Sejarah Isa al-Masih dan Jejak Nabi Palsu sekaligus ditengah keluarga besar mertua saya yang laki-laki. Disana ada kaum intelek, politikus serta ada ulamanya yang saya tahu pengetahuan mereka dalam bidang sains, politik atau tafsir keagamaan bisa diandalkan. Sewaktu saya mengakhiri paparan kedua buku itu, tidak ada yang mendebat saya seperti apa yang dialami oleh istri saya disalah satu kantor pemerintah sebelumnya.

Semua orang-orang yang usianya bisa saya tulis tidak lagi muda itu menghormati pemahaman saya dan kita melakukan diskusi secara maraton dengan merujuk kedalil-dalil yang berkaitan dengannya, baik sewaktu kita membahas tentang kontroversi kematian dan pengangkatan Nabi Isa sampai kepada fenomena-fenomena kaum yang mengaku mendapat wahyu ilahi.

Tertib dan teratur … hangat serta bersahabat.

Dua cerita yang saling bertentangan … tetapi inilah contoh kehidupan nyata yang kita hadapi.
Ada orang yang tidak ikhlas terhadap perbedaan serta mati-matian untuk menutupi dirinya dengan semua hujatan pada pihak yang berbeda dengannya, seluruh perbedaan dianggapnya kesesatan, orang harus sama seperti apa yang dia pahami …. tetapi ada tipikal orang yang lebih ikhlas menyikapi perbedaan, mereka yakin bahwa Allah memang meng-create dunia dengan pesona perbedaan agar dunia itu sendiri menjadi indah dan dinamis. Pemaksaan demi pemaksaan hanya akan menentang sunnatullah, demikian kira-kira konsepsi mereka.

Inilah kedewasaan menurut saya … susah untuk dapat belajar ikhlas menghadapi kenyataan … sama susahnya untuk belajar membedakan cinta dan perasaan ingin memiliki.

Saya bukan orang yang benar-benar bisa melakukan keikhlasan dalam keseharian namun saya ingin belajar untuk bisa … sayapun ingin mengajak teman-teman saya dimilis ini untuk berjalan bersama saya belajar menjadi orang yang ikhlas.

Bila Aa’ Gym pernah mempopulerkan istilah “Indahnya kebersamaan” maka saya akan mencoba mempopulerkan istilah “Indahnya keikhlasan”

Ada komentar positip  …?


Salamun ‘ala manittaba al Huda

ARMANSYAH