Hukum memilih pemimpin non-Muslim

Oleh : Armansyah

Ketika proses pencalonan Jokowi dan Ahok untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu, saya termasuk orang yang mungkin agak keras mencoba mengingatkan masyarakat untuk meninjau kembali asa, harapan dan juga kekaguman mereka terhadap kedua sosok nasionalis ini.

Joko Widodo ataupun juga Basuki Tjahaja Purnama boleh jadi merupakan pasangan yang ideal dan bagus untuk duet dalam membangun pemerintahan di ibu kota yang semrawut, kompleks dan penuh dengan KKN. Kita tidak bisa menafikan profesionalitas keduanya, terlepas dari suka dan tidak suka kita terhadap mereka berdua.

Tapi ketika kita bicara soal agama, soal akidah, maka kita harus tegas. Apa yang benar, harus disampaikan. Kita tidak lagi bicara dari sudut kacamata hablumminannas saja tapi juga sudah kepada hablumminallah atau urusan sama Allah.

Didalam Islam, khususnya pada kitab suci al-Qur’an, secara jelas disebutkan bila kita dilarang mengangkat pemimpin dari kalangan kaum non-Muslim.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. (surah al-Maaidah ayat 51)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (surah al-Maaidah ayat 57)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (surah at-Taubah ayat 23)

Sedemikian terangnya ayat-ayat al-Qur’an menyebutkan perihal larangan pemilihan pemimpin untuk umat Islam dari kalangan yang non-Muslim. Harusnya kita bertindak Sami’na wa-atho’na, kami dengar dan kami taat. Tidak ada alasan untuk kita menolak firman Allah tersebut.

Tidak perlu melakukan pembelaan diri dengan mencari pembenaran dengan argumen apapun, sebab Allah tidak mungkin keliru menurunkan wahyu-Nya. Tidak mungkin pernah salah dalam berfirman. Jika kemudian kita menganggap pikiran kita, pendapat kita yang memilih orang non muslim sebagai pemimpin (entah apakah itu untuk jabatan Walikota, Wakil Walikota, Gubernur, Wakil Gubernur, Presiden, Wakil Presiden, anggota legislatif, DPD, Camat, Bupati dan lain sebagainya, bahkan juga RT serta RW maka konsekwensinya kita merasa diri kita lebih hebat dari Allah. Kita merasa diri kita lebih benar dari Allah.

Allah salah !

Itu kesimpulannya. Sebab Allah jelas dan tegas melarang mengambil pemimpin untuk umat Islam dari kalangan non Muslim. 

Lakukanlah ketaqwaan seoptimal mungkin dengan apa yang bisa dilakukan. Ketika ada perintah al-Qur’an tidak terakumulasi secara keseluruhan, maka carilah pendekatan-pendekatan yang tetap sesuai dengan nash-nash secara letterliknya. Sebab bagi seorang muslim, seperti apapun situasinya, ia harus selalu Sami’na wa-atho’na pada Allah dan Rasul-Nya. 

Lalu bagaimana jika pilihan calon pemimpin dari kalangan muslim adalah orang yang buruk, jelek perangai dan juga zalim? Bukankah lebih baik mengambil orang non Muslim yang baik hatinya?

Jawabnya yang paling penting diatas semua yang terpenting adalah tetap Pilihlah pemimpin yang seiman. Itu perintah Allah dalam al-Qur’an. Kita memilih pemimpin kita orang yang juga Muslim dan jangan pula membuat saudaranya seiman ditempat lain, dipimpin oleh orang yang juga tidak seiman. Sebab akidah adalah puncak dari semua keimanan dan ketaatan pada Allah.

Meskipun calon pemimpin dari kalangan muslim itu jelek, buruk perangai dan zalim tetapi ukuran Tauhid itu jelas yaitu syahadat ketuhanan dan juga syahadat Rasuliah. Muslim akan tetap menjadi muslim dan tidak sama dengan kafir :

Shahih Muslim 137: Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar, Ibnu al-Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil al-Ahdab dari al-Ma’rur bin Suwaid dia berkata, “Saya mendengar Abu Dzar menceritakan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Jibril Alaihissalam mendatangiku lalu memberikan kabar gembira kepadaku, bahwa orang yang meninggal dari umatmu dalam keadaan tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu apa pun niscaya masuk surga.” Maka aku bertanya: “Meskipun dia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab, “Walaupun dia berzina dan mencuri.”

Musnad Ahmad 20493: Telah menceritakan kepada kami Abdushamad telah menceritakan kepadaku Ayahku telah menceritakan kepada kami Husain dari Abu Buraidah bahwa Yahya bin Ya’mar menceritakan padanya bahwa Abul Aswad Ad Dili menceritakan bahwa Abu Dzar berkata, “Aku mendatangi Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam yang sedang tidur dengan mengenakan baju berwarna putih, saat aku datang kembali beliau telah terbangun hingga aku pun duduk disisinya. Beliau bersabda: “Tiada seorang hamba yang mengucap kalimat ‘Laa Ilaaha Illallah’ lalu ia meninggal dalam keadaan seperti itu kecuali ia akan masuk surga.” Aku bertanya, “Walaupun ia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun ia berzina dan mencuri.” Aku bertanya lagi, “Walaupun ia berzina dan mencuri?” beliau menjawab: “Meskipun ia berzina dan mencuri.”

 Jika kita analisa pesan-pesan al-Qur’an tentang pentingnya Tauhid, maka hadis ini sangat logis dan make sense tanpa pertentangan. Bahkan ketika Rasulullah dihadapkan pada dialog buntu dengan para pendeta Nasrani dari Najran, Rasul kemudian menawarkan kesepakatan pada konsep monotheisme ketuhanan tanpa harus mengakui kerasulan beliau.  Artinya jika memang tidak ada lagi jalan lain dalam mencari kemaslahatan bersama, maka kembalikan semua pada konsep akidahnya. Entah apakah dia nantinya berlaku sebagai orang yang munafik, jahat atau lainnya, namun ikatan akidah itu tetap nomor satu.

Olehnya maka bisa dimengerti pula hadis yang menyebutkan kita harus tetap tunduk pada pemimpin muslim yang zalim selama kezaliman itu tidak membuat kita menjadi kafir.

Standar didalam Islam itu adalah al-Qur’an dan sunnah, bukan perilaku orang per-orang. Islam melalui keduanya ini mengatur jelas bagaimana cara hidup, bagaimana cara memilih pemimpin, bagaimana cara makan dan seterusnya. Tidak ada pemisahan antara agama dan politik, agama dan bisnis, agama dan pendidikan. Islam itu holistik. Jadi, yang menggelikan itu justru orang Islam yang tidak mengerti Islam tapi bicara soal Islam secara salah.  Islam itu kaffah, apa kata al-Qur’an maka itulah yang harus dilakukan. Jika tidak suka dengan perintah al-Qur’an maka tidak ada paksaan dalam beragama. Simpel saja.

Perbedaan pendapat bukan menyangkut perkara yang sudah jelas atau muhkamat, wilayah fiqh hanya menyangkut perihal mutasyabihat.

Kenapa saya pernah ikut merekomendasikan Foke-Nara dan menolak perubahan yang diusung oleh Jokowi-Ahok? Jawabnya adalah : menurut al-Qur’an, kita dilarang mengambil orang-orang nasrani dan yahudi sebagai pemimpin. Sementara cawagub dari Jokowi adalah Ahok yang berasal dari Kristiani. Jika kelak Jokowi terpilih, tentu ada power-sharing antara dia dan Ahok. Apa kontens power-sharing Jokowi dan Ahok ini? mana-mana bagian atau wilayah yang diurus oleh Jokowi dan mana yang nanti ditangani oleh Ahok?

Apakah urusan umat Islam seperti pendirian masjid, isyu-isyu sara lainnya yang berkaitan dengan Islam akan bisa dihandle secara fair? Plus, bila misalnya 2014 Jokowi ditarik sebagai Presiden atau Wapres, Ahok yang kristiani ini akan naik sebagai gubernur. Maka secara otomatis, gubernur pilihan umat adalah orang ahli kitab yang dilarang oleh al-Qur’an.

Jikapun, skenario diatas tidak terjadi, ingat, wakil walikota Solo saat ini adalah FX Hadi Rudyatmo. Dia seorang kristiani. Bila anda mencoblos Jokowi dalam pilkada DKI dan dia menang, maka yang akan menjadi walikota Solo adalah orang Kristiani. Secara tidak langsung, kita menjadi penyebab saudara kita seiman dipimpin oleh orang yang tidak seiman menurut kacamata al-Qur’an.

Anyway, semua pilihan ada pada setiap diri, itu dijamin oleh konstitusi negara kita maupun oleh al-Qur’an sendiri. Jangankan dalam hal ini, bahkan untuk memilih beriman atau kafirpun tidak ada paksaan. Analisa ini cuma kajian singkat dan subyektif saya dari sudut pandang al-Qur’an (al-Maaidah ayat 51 dan 57, at-Taubah ayat 23). 

Setiap pilihan maupun pertimbangan lain yang ada dari warga DKI, sangat saya hormati. Siapapun yang nantinya terpilih memimpin Jakarta, maka itulah pilihan rakyat dan harus tetap kita hargai sebagai konsekwensi sebuah demokrasi. Jokowi atau foke adalah orang-orang yang punya kinerja baik. Kita adalah bangsa yang majemuk, setiap orang punya hak yang sama ditinjau dari sisi konstitusi negara. Tinggal nanti dihari kiamat, semua tindakan akan kita pertanggung jawabkan dihadapan Allah.

Kita tidak bisa melepaskan konteks agama dalam dinamika kehidupan, jadi ketika ada hujjah yang menyebutkan agama tidak mengatur ini dan itu maka kita harus mengkajinya secara jelas, benarkah agama tidak mengaturnya? Dari sini maka kita akan membahas ayat demi ayat dari al-Qur’an dan hadis-hadis yang berbicara masalh itu. 

Jadi bagi saya wajar bila seseorang yang seagama menganjurkan agar memilih pemimpin yang sesuai agamanya. Karena itu rasional. Kalau pemuka agama malah menganjurkan memilih pemimpin yang tak sesuai agamanya, malah itu tidak rasional. Yang penting semua pihak bisa menahan diri dan tidak anarkis.

Kebenaran yang tercerai berai pasti akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir. Tugas setiap muslim yang tsiqah adalah memaksimalkan upaya, kita tidak dibebankan hasil akhirnya. Jikapun kebenaran yang diupayakan itu kandas, setidaknya kita telah mencoba untuk berbuat. Faidza Azzamta fatawakkal ‘alallah. Tidak perlu bersedih hati, sebab Tuhanmu maha mengetahui siapa diantara hamba-hambaNya yang taqwa.

5 Responses

  1. Kalau kita memilih pasangan capres/cawapres no 2 sama saja kita memilih gub dki yg noni ???

  2. Maaf pak saya jd bingung di pilpres 2014 ini saya mau pilih siapa 😥 Ya Allah smga Allah senantiasa mmberi petunjuk tuk hamba2mu ini

  3. apakah aturan yang ada di indonesia sudah berlandaskan al-quran …………..,?
    …………….!!!!!!!!!!!!

  4. Aturan Allah di banding bandingkan dengan aturan negara (di buat oleh manusia)…hahahaha..

  5. SubhanaaAllah maha suci Allah… semoga kita selalu dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan Rasulnya shallawahuallaihiwasallam..aamiin

Comments are closed.