Dialog antara Armansyah dengan Sdr. Iskandar
Seputar konsep universalitas Islam dan hubungannya dengan konsep jemaah
Diskusi dimulai dari Sdr. Iskandar yang menghubungi saya melalui email, menanggapi tulisan saya disitus swaramuslim ( http://armansyah.swaramuslim.com ).
Dialog pertama :
Tanggal : 09 Agustus 2006 | Pkl : 07:31 AM dan Pkl : 09:39 AM
[ Iskandar : ] Assalammu’alaikum wr wb,
[ Armansyah : ] ‘alaykumsalam Wr. Wb.,
[ Iskandar : ] Bung Arman, sungguh saya kagum atas pernyataan :
Saya orang yang rasional dan bukan dogmatis …
Berbicara dengan saya maka bersiaplah untuk berbicara Islam secara universal (bukan liberal) … sebab kebenaran Tuhan itu bisa didapatkan darimana saja sumbernya ….setiap kebenaran akan bersifat saling mengisi dan saling membenarkan kebenaran yang sudah ada sebelumnya … tetapi manakala sesuatu itu bersifat parsial atau justru bertentangan … maka tentu dia bukan kebenaran … sebab kebenaran sifatnya pasti bukan relatif.
Bolehkah saya ngobrol-ngobrol lebih lanjut dengan bung ?
[ Armansyah : ] Salam kenal kembali buat anda Sdr. Iskandar …
InsyaAllah selama masing-masing dari kita punya waktu dan kesempatan (kita bisa sama-sama berdiskusi) …
[ Iskandar : ] Pertama yang saya tanyakan, cuplikan dari Tafsir Al Furqon A.HAsan Persis.
(QS.10:35) “Tanyalah adakah dari antara sekutu sekutu kamu itu siapa siapa yang bisa memimpin kepada kebenaran ?. Katakanlah: “Allah-lah yang memimpin kepada kebenaran”. Maka apakah yang memimpin kepada kebenaran itu lebih patut diturut ataukah yang tidak bisa memimpin kecuali sesudah dipimpin. Mengapa kamu begitu ?. Bagaimana kamu mengambil keputusan ?”.
Persepsi saya, bung Arman telah mendapatkan orang yang dipimpin Allah, karena dalam ayat ini yang dapat memimpin kepada kebenaran hanya Allah dan orang yang dipimpin Allah.
Menurut bung Arman beliau adalah :” Tidak ada orang yang lebih berjasa dalam menanamkan ilmu dan prinsip Tauhid kepada diri saya diluar orang tua kecuali Drs. H. Asfanuddin Panjaitan (almarhum) yang akrab saya panggil Bang Asfan”.
[ Armansyah : ] Pada dasarnya, nilai-nilai kebenaran itu bisa ada pada setiap makhluk, mulai dari hewan, tetumbuhan, bumi, air, planet-planet, matahari, bulan, bintang gemintang dan juga manusia itu sendiri terlepas apakah dia beriman ataukah kafir dari sisi akidah.
Hanya saja secara realita, seringkali kita butuh nilai-nilai kebenaran yang ada pada setiap makhluk tadi itu sebagai guide buat kita agar bisa tetap konsis atau istiqomah terhadap kebenaran itu sendiri. Untuk itulah maka Allah pun menjadikan sebagian dari manusia sebagai Nabi dan Rasul sementara sebagian lainnya Dia jadikan selaku guru, wali atau ulama yang mana menjadi Imam bagi manusia lainnya.
[ Iskandar : ] Bagaimana mengetahui orang yang dipimpin Allah (berdasarkan Al Qur’an atau Hadits) ?
[ Armansyah : ] Saya akan menjawabnya secara universal saja dulu, pertanda yang paling utama adalah orang itu mengajarkan ketauhidan atau pengesaan kepada Allah dengan semurni-murninya penghambaan; lalu orang itupun memberikan keteladanan buat orang lain melalui dirinya sendiri, orang itu juga seharusnya memiliki sikap yang bijaksana dalam menyikapi sesuatu dan dia juga harusnya orang yang mumpuni dalam berwawasan secara global
[ Iskandar : ] Apakah hasil atau ukuran yang dicapai dari ilmu tersebut sehingga kita meyakini sebagai kenyataan tentang kebenaran universal ?
[ Armansyah : ] Satu ilmu adalah rangkaian dari ilmu-ilmu lainnya, meyakini satu ilmu saja tentu tidak bisa disebut telah mengetahui kebenaran yang sejati sebab yang satu ilmu ini baru sebatas pijakan awal dalam melangkah kepada kebenaran, olehnya orang yang bisa disebut telah dipimpin Allah maka dia tidak menutup diri atas kebenaran yang ada pada ilmu lain diluar disiplin yang ia dalami.; semuanya adalah rangkaian dari satu kesatuan yang utuh.
[ Iskandar : ] Adakah hubungan Imam dan Jamaah dengan beliau ?
[ Armansyah : ] Imam dan Jamaah adalah sebuah konsepsi kepemimpinan yang berfungsi mengatur tatanan yang ada pada sebuah komunitas, saat dia bertindak sebagai seorang guru maka diapun bisa disebut seorang imam yang mengatur jamaahnya (yaitu dalam hal ini murid-muridnya) begitupula misalnya saat dia bertindak selaku kepala negara maka dia pun bisa disebut imam yang mengatur masyarakatnya selaku jamaah yang besar.
Saya tidak melihat konsep Imam dan Jamaah secara parsial sebagaimana yang ada dalam konsepsi sebagian umat Islam yang akhirnya memaksakan kehendak kelompoknya untuk diakui sebagai satu-satunya kebenaran ataupun komunitas yang justru mengecilkan makna keuniversalan dari Islam itu sendiri.
[ Iskandar : ] Terima kasih, Wassalammu’alaikum wr wb.
Iskandar – Jakarta Pusat
[ Armansyah : ] Demikian yang bisa saya jawab sementara ini, terimakasih atas perhatian anda.
Wassalam.,
Armansyah
http://armansyah.swaramuslim.net
Dialog kedua :
Tanggal : 11 Agustus 2006 | Pkl : 07:21 AM dan Pkl : 09:36 AM
[ Iskandar : ] Bang Arman, banyak yang mengajarkan lisan dan tulisan bahkan Rasulullah saw menyampaikan dalam Universitas-Islam yang mengajarkan ke-universal-an dimana ruang kelas tempat berjalan menuntut ilmu-Nya meliputi Waktu, Ruang, Alam dan Mahluk. Namun universitas ini telah terpecah belah menjadi 73 universitas.
[ Armansyah : ] Hmm. begini mas Iskandar.,
Saat Allah menyatakan Islam itu universal maka tentu memang demikian ada dan sifatnya, saya rasa sampai disini kita bisa tetap sepakat.
Nah, jika pembicaraan sudah masuk kepada hadis yang menceritakan mengenai adanya 73 firqah didalam Islam, maka berarti kita mulai mengeklusifkan pembahasan dan sudah keluar dari jalur universalitas sebelumnya.
Jadi artinya diskusi ini sifatnya sudah menyempit …. dan kita tentu tidak akan membawa-bawa lagi istilah universalitas dalam pembahasan berikutnya.
[ Iskandar : ] Dalam hadits dibawah ini keteladanan phisik dapat dibuat serupa dengan Rasul ” Kulit mereka sama dengan kulit kita dan mereka berbicara dengan bahasa kita.“ artinya tak cukup hanya dengan melihat dan mendengar dengan indera jasmani lalu kita memilih dan bersumpah-setia kepada seseorang untuk dapat menuntun kepada kebenaran universal yang didambakan.
[ Armansyah : ] Baiat adalah sebuah sikap ketertundukan dan kepatuhan kita atas diri seseorang yang disepakati untuk menjadi pemimpin kita dan sekelompok orang lain atas dasar tujuan tertentu.
Dan menurut saya, selama tujuan itu tetap menjadi anak tangga untuk melangkah kepada kebenaran yang universal maka baiat bisa dibenarkan, namun perlu di-ingat, ini bukan untuk mengeklusifkan kebenaran itu sendiri sehingga mendeskreditkan nilai-nilai kebenaran lain yang ada diluar kelompoknya.
Kebanyakan dari kita sering bertindak terlalu apatis terhadap kebenaran yang diungkapkan oleh orang lain, terlebih jika orang tersebut memiliki cara pandang yang berseberangan dengan apa yang kita yakini kebenarannya. Padahal belum tentu semua yang ada dalam pemikiran orang tersebut salah dan sebaliknya belum tentu juga setiap pikir dan tindakan kita bernilai benar; bisa saja kita bersikap konsisten terhadap nilai-nilai yang kita anut sehingga kita menyebutnya sebagai sebuah kebenaran namun bukan tidak mungkin konsistensi kita tadi hanya ilusi dimana pikiran kita sesungguhnya berjalan sesuai pola logika yang bisa bergeser dan menyimpang.
Pikiran kita memang seringkali tidak menyimpang kalau kita bandingkan dengan standar kita sendiri. Padahal standar kita dibentuk oleh pikiran kita yang bisa jadi pula dipengaruhi oleh orang lain. Jadi, maksud saya acapkali pikiran kita ternyata hanya tidak menyimpang dari pikiran kita sendiri atau kelompok dimana kita berkomunitas.
Allah menjadikan kita lengkap dengan panca indera berikut fungsinya adalah untuk menangkap dan menyerap semua nilai-nilai kebenaran yang berserakan disemesta raya, ini adalah tools atau alat yang harus dioptimalisasikan penggunaannya.
Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi ? padahal mereka mempunyai hati yang dengan hati itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar; Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. – Qs. 22 al-Hajj : 46
[ Iskandar : ] Pertanyaannya :
1. Bagaimana kita dapat memilih secara benar jika 73 universitas dengan kurikulum yang sama yaitu Al Qur’an dan Hadits, para dosen-nya serupa tapi tak sama. Beranikah kita mengorbankan diri dan keluarga kita dalam usaha terpenting di kehidupan dunia ini tanpa kepastian yang nyata tentang alam lainnya yaitu Surga dan Neraka (universal) ?.
Shahih Bukhari IV:1873 : Dari Huzaifah bin Yaman r.a katanya : Orang banyak biasanya menanyakan kepada Rasul saw tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepada beliau tentang keburukan (bahaya), karena takut akan ditimpanya. Saya bertanya :”Ya Rasulullah ! Sesungguhnya kami dahulu dalam masa jahiliyah dan keburukan, lalu didatangkan Allah kepada kami kebaikan. Adakah sesudah kebaikan ini akan terjadi keburukan ?” Jawab nabi :”Ya !” Saya bertanya :”Adakah sesudah keburukan itu ada kebaikan ?” Jawab nabi :”Ya !, tapi ada yang merusaknya”. Saya bertanya :”Apakah perusak itu ?” Jawab Nabi :” Sekumpulan orang yang memimpin bukan menurut jalan yang benar. Sebagian dari tindakan mereka ada yang engkau pandang baik dan ada yang tidak.” Saya bertanya :”Adakah sesudah kebaikan terjadi lagi keburukan?” Jawab nabi :”Ya ! Orang-orang yang memanggil dipintu neraka. Siapa yang memperkenankan panggilannya, mereka dilemparkannya ke dalam neraka.” Saya bertanya :”Ya Rasulullah, terangkan kepada kami keadaan mereka !” Jawab Nabi :” Kulit mereka sama dengan kulit kita dan mereka berbicara dengan bahasa kita.” Saya bertanya :”Apakah yang engkau perintahkan kepada saya, kalau se-andainya saya mendapati hal yang demikian ?” Jawab Nabi :”Hendaklah engkau tetap dalam jama’ah (persatuan) kaum Muslimin dan mengikuti Imam (pemimpin) mereka.” Saya bertanya :” Bagaimana kalau mereka tidak mempunyai Jama’ah (persatuan) dan tidak mempunyai Imam (pemimpin) ?” Jawab Nabi :”Jauhilah semua kumpulan biarpun karena itu engkau sampai menggigit (mengunyah) urat-urat kayu, sehingga engkau meninggal dunia dalam keadaan serupa itu.”
[ Armansyah : ] Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan tangga-tangga yang mereka bisa menaikinya. -Qs. 43 az-Zukhruf :33
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat -Qs. 11 Huud :118
Bergolong-golongan atau berpecah belah sudah menjadi fitrah dari manusia itu sendiri, rambut bisa sama hitam tetapi pendapat sangat bisa untuk berbeda, bagaimana mungkin kita bisa menyatukan semuanya dalam arti yang sebenarnya ? itulah makanya saya katakan kita harus realistis, sejak awal Allah menjadikan manusia ini dengan dua fitrahnya, baik dan buruk, dan semenjak awal pula Allah tidak mendesain diri kita ini untuk menjadi malaikat yang hanya mengenal kebaikan, itu sudah lebih dari cukup bagi kita untuk mengindikasikan betapa Allah itu memang sudah menjadikan keberagaman diantara manusia itu sebagai sebuah fitrah, dan disitulah letak salah satu ujian yang mesti kita jalani, kita harus bisa melepaskan diri dari segala bentuk eksklusifisme kita.
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia ciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah karena Tuhanmu itu sangat mulia; Yang mengajar dengan Qalam. Dia mengajar manusia apa yang mereka tidak tahu
Qs. 96 al-alaq : 1 – 5
Perintah membaca pada ayat diatas misalnya, bukan hanya dalam konteks dimana Nabi disuruh oleh malaikat Jibril membaca saat turun wahyu pertama saja, akan tetapi bisa kita tafsirkan secara luas dalam konteks masa kini. Dimana membaca adalah awal dari berpikir. Awal dari mencari tahu dan melakukan penyelidikan, awal dari menganalisa serta awal dari suatu pemahaman ataupun kesimpulan. Artinya untuk bisa menjangkau nilai-nilai kebenaran universal, kita tidak bisa bersifat eksklusif, kita harus bisa open-minded atau berpikiran terbuka.
semakin kita banyak belajar dan berinteraksi maka kepribadian kita seharusnya semakin meningkat, semakin menuntut lebih banyak dari sebelumnya, semakin kita belajar semakin kita merasa ilmu ini teramat sedikit, semua kekayaan pemikiran, khasanah pengetahuan harus bertambah demikian juga dengan ketakwaan maupun kesederhanaan jiwa.
Inilah inti dari sabda Nabi : Sesungguhnya siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia orang yang beruntung, tetapi orang yang hari ini lebih buruk dari sebelumnya maka dia termasuk orang yang merugi (lihat rujukan Surah al-Ashar 103 ayat 1 s/d 3).
Nah, apa yang saya sampaikan tadi itu sebenarnya untuk menggambarkan proses demi proses yang dilalui oleh manusia … kita tidak bisa terus-terusan berpikir dengan meniru gaya anak kecil beragama … seiring dengan berjalannya waktu, bertambahnya usia, ilmu dan pengalaman maka seyogyanyalah kita harus semakin matang dan dewasa dalam memahami ajaran Islam.
Kita harus bisa berpikir lebih bijak dan lebih sehat … ketaklidan buta akan sebuah dogma agama sama sekali tidak menghasilkan kepuasan dalam pelaksanaannya dan bahkan itupun bertentangan dengan kitab suci.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka yang memperolok – Qs. 49 al-Hujuraat :11
Dan jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak tahu mengenainya. Sungguh pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. -Qs. 17 al-israa’ : 36
Allah mewajibkan kita belajar dan terus belajar, kita tidak boleh bersikap statis apalagi jumud … Allah ingin kita ini pintar, cerdas dan terpelajar.
Semakin kita berpikir maka semakin banyak kita menggunakan otak kita. Dan bila semakin banyak kita menggunakan otak kita, maka akan lebih baik dilihat dari sudut menciptakan tambahan intelejensia. Demikian juga semakin kita berkonsentrasi, semakin kita memperbaiki penggunaan otak kita. Oleh karena itu, kunci untuk membuka intelegensia adalah sederhana … gunakan otak kita sebanyak dan sesering yang bisa kita lakukan !
Orang-orang yang malas dan tidak suka berpikir atau yang terbiasa mendelegasikan kepada orang lain untuk berpikir, setelah beberapa waktu otak mereka menjadi semakin lemah dan akhirnya pikiran dikendalikan orang lain. Inilah asal mula timbulnya pemujaan (pengidolaan) .
Banyak sekali jumlah ayat al-Qur’an yang mewajibkan kita mempergunakan akal dalam berkehidupan ini, bahkan Ibrahim as sebagai imam manusia dan dijadikan khalil Allah, memulai pencarian kebenaran melalui akalnya dan wahyu pertama yang turun kepada Muhammad Rasulullah sebagaimana yang saya singgung dibagian atas juga perintah Iqra, Baca, belajar, kreatif yang semuanya hanya bisa diperoleh melalui akal.
Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. – Qs. 10:Yuunus 100
Berpikir dan teruslah berpikir … kritis dan kritislah dalam beragama … tinggalkanlah sifat jumud, taklid maupun kultus individu … pelajarilah semua hal dan obyektiflah, tataplah Islam melalui kacamata ilmu …. karena Islam diturunkan tidak untuk dibuat beku, Islam bersifat universal … Rahmatan lil’alamin….Islam menuntut anda cerdas, bukan menyuruh anda bodoh, biarkan umat-umat lain tersesat dengan doktrin irrasionalnya yang tidak boleh dibantah … tapi jangan jadikan diri anda bersifat sama seperti mereka.
Dalam merangsang agar manusia ini mau berkreatif Nabi Muhammad Saw bersabda :
Jika seorang pemikir berusaha sendiri dan memberikan keputusan yang benar maka dia mendapat dua pahala, tetapi jika penilaiannya keliru, dia masih akan mendapat satu pahala. -Hadist riwayat Abu Daud
Ya, terlepas benar atau salah hasil pemikiran yang sudh kita lakukan itu akan tetap mendatangkan pahala … bukan dosa !
Demikian …
[ Iskandar : ] 2. Dalam surah (QS.29:49) kriteria alim ulama atau berilmu adalah orang yang telah mendapat Al Qur’an yang nyata didada seperti dicontohkan Rasulullah di letakkan didadanya nurul ilmi Al Qur’an, lalu Alqur’an didada beliau berkata-kata menyampaikan dalam bentuk bahasa kaumnya dan perilaku atau ahlak, semua itu di-ingat di memori-otak-kepala jamaahnya dan selanjutnya ditulis dan disusun kemudian.
Pertanyaannya : Setelah kuliah mencari lmu dari dosen dimaksud, apakah bung Arman, telah mendapatkan ilmu yang nyata itu yaitu “Al qur’an didada” ? Bagaimana mengetahui bahwa seseorang telah mendapatkannya ?
(QS.29:49) Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.
[ Armansyah : ] Semakin kita belajar maka seharusnya semakin besar pula rasa tawaduk kita akan kemahaan Ilahiah, nah, kala kita sudah mampu melepaskan ego keakuan kita inilah maka kita mulai bisa disebut sebagai orang yang arif, yaitu orang yang mampu memahami semua kejadian dan proses yang ada pada alam semesta ini atau pada tatanan masyarakatnya dengan kacamata Allah.;
Kehidupan berdiri di atas satu hakikat, yaitu pertarungan yang terus-menerus di antara yang hak dengan yang batil. Seluruh peristiwa yang terjadi di dalam sejarah manusia tidak keluar dari konteks pertarungan ini. Dengan hati nurani kita dapat menyelami sejarah dan menjadikannya hidup serta berinteraksi dengan kehidupan kita sekarang. Kita dapat menyelami lebih dalam tentang terjadinya berbagai perpecahan mazhab di dalam sejarah umat Islam atau kenapa sampai manusia ini tidak bisa pernah 100% sepakat terhadap sesuatu hal yang sama.
Untuk mengkaji ini mau tidak mau kita harus mengesampingkan berbagai emosi dan kecenderungan pribadi, dan mendasarkan diri kepada kaidah-kaidah Al-Qur’an. Sehingga kita mampu melakukan analisa yang objektif, dan mampu melihat berbagai peristiwa bukan hanya sebatas permukaannya saja melainkan sampai ke substansinya. Dengan begitu kita akan bisa sampai kepada penglihatan yang jelas dan objektif, dan bukan penglihatan yang salah dan rancu.
Itulah salah satu makna dari keberadaan ayat-ayat al-Qur’an didalam dada orang yang berilmu.
[ Iskandar : ] 3. Dapatkah seseorang terkecoh oleh tampilan keteladanan yang dipandang baik lalu dengan berani menpertaruhkan keselamatan diri dan keluarganya … point of no return ?
Seseorang dapat terkecoh dan tertolak dalam menuntut ilmu kebenaran seperti cerita atau pelajaranan Allah swt tentang Musa as yang menyalahkan calon dosennya Khidir as karena tampilan perilaku tersurat dalam membunuh anak, melubangi perahu dan membangun rumah anak yatim-piatu disebuah desa. Kelihatan oleh Musa as kontradiktif dengan ahlakul karimah?
Demikian, terima kasih
[ Armansyah : ] Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami disekitar alam semesta termasuk pada diri mereka sendiri, sehingga terbuktilah bagi mereka kebenaran itu – Qs. 41 Fushilat : 53
Nilai-nilai kebenaran itu terkandung dalam semua kejadian dialam semesta ini, prinsip yang saya pegang dalam hidup ini : bila sesuatu itu baik dan bermanfaat akan saya ambil sekalipun itu harus keluar dari -maaf- pantat ayam misalnya telur, namun jika sesuatu itu buruk dan sama sekali tidak bermanfaat ya akan saya jauhi, sekalipun berasal dari -maaf- pantat seorang kaisar ternama misalnya kentut. Jadi kita ambil ibrah saja dari semuanya, berbaik sangka jauh lebih baik daripada bersikap sinis terhadap sesama muslim.
“Sesungguhnya mereka yang suka akan tersebarnya keburukan dikalangan kaum beriman akan mendapatkan azab yang pedih didunia dan akhirat…”
(Qs. an-Nur 24:19)
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencian kamu atas satu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil. Berbuatlah adil, ini lebih mendekatkan kamu kepada ketakwaan; takutlah kamu kepada Allah sebab Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Maidah 5:8)
Kita memang acapkali jengkel dengan penafsiran segelintir jemaah terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan juga al-Hadist, mereka memutar balikkan semuanya sekehendak hati mereka sehingga masing-masing merasa bahwa ayat-ayat dan Hadist-hadist tersebut memperkuat aliran mereka, namun sesuai amanat al-Qur’an, yang demikian tidak berarti harus kita sikapi dengan anarkis dan menghilangkan sudut keobjektifitasan kita.
“Apabila kamu berbantahan disatu permasalahan, hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul apabila adalah kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.” -Qs. an-Nisa’ 4:59
Banyak orang mengatakan bahwa melakukan Bai’at terhadap pemimpin itu wajib hukumnya, namun ber-bai’at terhadap Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw jauh melebihi dari kewajiban berbai’at kepada siapapun.
Wassalam.,
Armansyah
Filed under: Uncategorized | Comments Off on Dialog tentang universalitas Islam