Antara doa dan ikhtiar: Pengobatan Tradisional dan Modern

Oleh. Armansyah, M.Pd

Jadi begini… mungkin tulisan ini dapat menyinggung “rasa” keberagamaan bagi sebagian pihak. Terlebih dahulu. Maafkan saya.

Kita kerap merasa bahwa hubungan kita dengan Allah sangat dekat. Kita merasa selalu ada dijalan-Nya. Berbuat amal shaleh yang ditetapkan-Nya. Apapunlah itu, ya sholatnya, ya puasanya, ya sedekahnya ya memelihara anak yatimnya bahkan sampe menghajikan dan mengumrohkan orang lain. Intinya full ketaatan kita itu. Makanya kita –sekali lagi– merasa sangat intim dengan Allah.

Kita akhirnya tidak aware terhadap situasi yang berkembang. Kita MERASA akan selalu dilindungi Allah karena niat kita baik.

Akhirnya ketika Allah mengizinkan suatu kejadian terjadi pada diri kita, apapun bentuk musibahnya, termasuk contohnya saat ini sebut saja kita misalnya terkena paparan covid19, kita malah berbalik jadi kelompok denialis (bahasa saya). Kelompok kaum yang ingkar (bahasa agamanya). Betray bahasa film hollywoodnya.

Kita terpapar sindrom denial, yaitu kelompok  orang-orang yang berupaya menyangkal fakta yang terjadi.

Kenapa? Karena itu tadi… kita MERASA selalu berbuat baik. Kita MERASA Allah PASTI akan selalu melindungi kita dari kejadian buruk yang berlaku.

Akhirnya orang-orang seperti ini berusaha mencari alibi atau mencari pembenaran dari mana saja yang dianggapnya bisa mendukung RASA-nya tadi itu.

Ibarat kita sudah tenggelam dilaut, apapun yang terlihat pasti akan coba diraih dengan harapan bisa menyelamatkan kita dari ketenggelaman.

Ketika dihadirkan fakta-fakta kepada mereka, ya itulah.. Denial. Di ingkari.

Mereka bilang ini cuma ujian dari Allah, cukup baca doa-doa saja. InsyaAllah sembuh.

Ya tidak sepenuhnya salah sih, tapi ada hal yang mungkin perlu dipikirkan ulang oleh mereka.

Jika kita bilang sayang-sayangan dalam perspektif kemanusiaan nih ya, saya percaya pasti kita sepakat Allah sayang banget sama Rasulullah.

Pasti Allah akan selalu melindungi setiap langkah beliau SAW.

Sepakat khan?

Dan kita tahu, Rasulullah punya banyak mukjizat seperti Nabi-nabi lain terdahulu.

Sepakat khan?

Dan kita juga tahu, bila Rasulullah umpamanya berdoa untuk sesuatu, pasti doa beliau SAW akan dikabulkan Allah.

Kita ambil contoh kecil saja, saat Madinah dilanda kekeringan, Rasul doa minta hujan langsung dikabulkan. Waktu Rasul berdoa agar Umar masuk Islam, dikabulkan. Waktu Rasul berdoa diperang Badar agar menang melawan kaum kafir quraisy, Allah kabulkan. Dan seterusnya sebagaimana bisa kita kulik-kulik sendiri dalam kitab-kitab hadist maupun sirah nabawiyah.

Tapi… Nah, ini kita mulai masuk bahasannya.

Apakah dengan semua perangkat yang dimiliki oleh Rasulullah ini membuat Beliau SAW menjadi melepaskan ikhtiar insaniyahnya saat menghadapi persoalan?

Tentu kita lagi-lagi sepakat jawab, tidak.

Padahal kalo Rasul mau, bisa saja toh umpamanya setiap Rasul sakit langsung angkat tangan doa pada Allah minta disembuhkan? Dan Allah tak perlu hijab apapun untuk mengijabah permintaan Rasul yang dikasihi-Nya.

Tapi apa yang begini ini kita dapatkan pelajarannya dari sunnah nabawiyah?

Nggak!

Apa Rasul juga –katakanlah– selalu mengandalkan mukjizat Beliau seperti kasus penyembuhan sakit mata yang diderita oleh Sayyidina Ali kala hendak ditugaskan untuk pembebasan benteng Khaibar? Sakit dikit, tiup dan ludahi lalu beres semua keluhan?

Atau setiap merasa sakit selalu memanggil Malaikat Jibril untuk di ruqyah seperti asbabul wurud dari munculnya doa Bismillahi Arqiqa min kulli syai’in yu’dziika… dan seterusnya?

Jawabnya juga : Nggak !

Padahal apa yang menghalangi jika Rasul hendak berbuat demikian? Segala kekaromahan ada pada beliau. Dia wali diatas semua wali Allah, sebab Beliau adalah Khataman Nabi, Nabi penutup, Nabi akhir jaman, Nabi yang sejak awal kelahirannyapun banyak mukjizat terjadi.

Saat kesulitan menerpa beliau, Malaikat Jibril bisa saja hadir mendampingi beliau seperti kasus tawaran membalikkan bukit uhud pada orang-orang yang menolak dakwahnya.

Tapi mekanismenya tidak setiap kali begitu. Bahasa kerennya, just in case saja.

Seringnya saat Beliau mengeluh sakit, beliau minta dibekam orang lain. Dan ini bukan hanya sekali dua kali terjadi. Bahkan beliau menggariskan tanggal-tanggal terbaik untuk berbekam pada umatnya setiap bulan. Dan manakala ada yang datang mengeluhkan sakitnya, beliau juga kerap menyuruh merekapun berbekam.

Cukup bekam saja?

Ya Enggak juga … Buktinya Nabipun mensunnahkan agar mengkonsumsi madu, habbatussauda, qusthul hindi, melakukan gurah dan lain-lain. Meskipun 2 pengobatan utama yang beliau SAW sangat utamakan adalah hijamah/bekam dan madu.

Artinya apa? Kita tidak dapat menafikan fakta bahwa manusia sekelas Rasul saja jika sakit beliau berikhtiar secara fisik untuk membebaskan dirinya dari keluhan yang beliau derita.

Rasul tak sekedar angkat tangan berdoa semata. Rasul tak menjadikan mukjizat sebagai fitur yang bisa beliau gunakan bebas setiap kali.

Jadi kita bila sakit, ya berobat. Ikhtiar secara fisik. Jangan hanya mencukupkan diri pada doa-doa saja.

Kenapa? Sebab seperti itulah Rasul mencontohkan ikhtiarnya.

Berobat seperti apa? Ya fleksibel saja. Selama mampu mengikhtiarkan secara nabawiyah, lakukan.

Amalkanlah hijamah secara periodik seperti tuntunan beliau. Ikuti dengan terapi-terapi thibbun nabawi lainnya.

Bila memang kondisi memaksakan kita untuk menambah pengobatan secara medis… Ya lakukanlah juga.

Jangan mengunci pikiran kita semata pada thibbun nabawi saja dengan mengabaikan pengobatan kedokteran modern.

Adanya beragam bentuk therapi yang dicontohkan oleh Nabi bisa ditangkap sebagai isyarat lain dari bolehnya kita berobat dengan banyak cara. Tanpa meninggalkan cara-cara utama.

Jadi bila sakit ke rumah sakit, ya sangat bolehlah bila itu memang mengharuskan kita melakukannya. Toh dirumah sakit itu juga tempatnya para akademisi kesehatan yang professional dibidang kepakarannya masing-masing dengan jam belajar, jam penelitian serta jam terbang praktek kedokteran yang tinggi.

Jika ada satu dua oknum dokter menyeleweng ya tak usah digeneralisir semua dokter pasti sama seperti mereka. Atau satu dua oknum memanipulasi obat dan alat kesehatan… Ya itulah oknum, tidak mewakili keseluruhan. Atau ada satu dua dokter menyepelekan thibbun nabawi sehingga kita anti sama dokter… Ini pun salah. Tidak semua dokter begitu. Faktanya di PBI (Perkumpulan Bekam Indonesia) mulai secara struktur maupun keanggotaan justru ada banyak dokter didalamnya. Ya dokter umum, dokter anastesi, spesialis kandungan, spesialis jantung, dan sebagainya. Malah gelar kesarjanaan mereka panjang bak rel kereta api sebagai bukti sampai sejauh mana wawasan keilmuan medis mereka.

Saya dan isteri punya banyak sahabat yang berprofesi sebagai dokter. Mereka semua baik. Komunikasi kita juga baik. Hahahihi saja kalau ngobrol sama mereka. No problem at all.

Ini fakta yang hendak saya sampaikan… Jadi, kita jangan terus bermain diwilayah rasa-rasa. Sebab hakekat RASA itu berbanding lurus dengan PERIKSA.

Jika kita merasa dekat dengan ALLAH, ya maksimalkan usaha. Jangan membutakan mata hati. Terimalah fakta. Jangan mengeraskan hati. Stop jadi kaum denial.

Bila sakit, ya wajib berdoa pada Allah mohon kesembuhan. Panjangin dzikirnya. Tapi jangan pernah mengabaikan ikhtiar berikutnya, cari jalan-jalan pengobatan atas sakit fisik itu secara ukhrowi, secara duniawi. Baik melalui thibbun nabawi atau secara medis. Atau mungkin melakukan keduanya.

InsyaAllah kita semua mampu melewati pandemi ini.

Noted. Foto terlampir disini adalah foto lama 2014. Saat saya dirawat di rumah sakit Islam Siiti Khadijjah (dengan bekas bekam masih terlihat di wajah) serta foto baru saya bersama salah seorang dokter senior di Palembang yaitu Dokter Burlian Abdullah, ketua pembina yayasan Rumah Sakit Islam Siti Khodijjah ketika beliau mengundang kami untuk memberikan therapi bekam terhadap beliau yang sedang sakit. (Saya pernah menulisnya disini : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=186935339457503&id=100044231145361)

Saat 2014 saya sempat dirawat inap disalah satu rumah sakit
Bersama dokter Burlian Abdullah dan Isteri

Armansyah

Praktisi Thibbun Nabawi

Anggota PBI

Tinggal di Palembang