Belajarlah dari mana saja kau bisa mempelajarinya …

Belajarlah dari mana saja kau bisa mempelajarinya …
Oleh : Armansyah

Sudah bukan isyu baru lagi bila sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk belajar dan mengambil manfaat dari apapun yang bisa kita pelajari. Bahkan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Muhammad Saw adalah perintah untuk membaca, Iqra.

Tindakan ber-Iqra akan menghasilkan pribadi ilmuwan yang memberikan kemajuan-kemajuan, pencerahan, kemodernitasan ditengah masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat itu sendiri menjadi lebih baik dan tentu saja lebih kenal terhadap kemaha besaran Allah secara aplikatif. Tidak terbatas pada teori-teori dan doktrin yang sering dirasakan berat dan membelenggu sehingga terkadang membuat orang justru lari dari agama.

Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya. (Qs. Hud [11] :61)

Kita mesti mencari ilmu pengetahuan Tuhan yang tersebar dalam lautan ayat Qauniah atau segala sesuatu yang ada disekitar kita termasuk alam semesta secara keseluruhannya sesuai dengan kemajuan peradaban yang ada pada kita. Umat Islam mesti cerdas dalam beragama, bahwa Islam sama sekali tidak menghendaki umatnya untuk menjadi sebatas pemain figuran dijagad raya ataupun penikmat dari peradaban namun Islam juga menginginkan umatnya bisa maju dan tampil menjadi pemeran utama dari peradaban itu sendiri.

Islam bukan hanya sebatas agama dengan doktrin dan ritual akhirat sehingga hanya habis dengan menyibukkan diri dengan melafaskan kalimat-kalimat puji-pujian dan permohonan ampun. Islam adalah agama keseimbangan yang juga mementingkan kehidupan dunia.

Carilah bagian yang Allah berikan padamu diakhirat tetapi jangan sampai engkau melupakan bagianmu didunia. (Qs. Al-Qashash [28] :77)

Islam tidak pula agama yang melarang umatnya untuk menghibur diri mereka atas kekompleksitasan hidup yang mereka hadapi setiap hari, tidak juga penghiburan diri itu mesti selamanya diwujudkan dengan bersimpuh dan bersujud kepada al-Khaliq. Kita bisa melihat dalam sebuah kasus yang diceritakan oleh Imam Muslim pada kitab shahihnya yang bersumberkan dari Anas. Dimana pernah terjadi disuatu waktu sekelompok sahabat Rasul memantapkan tekad mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan menolak kehidupan duniawiah yang dianggap sebagai penghalang pencapaian tujuan tersebut. Diantara mereka waktu itu ada yang menolak untuk menikah, ada yang menolak untuk memakan daging dan ada juga yang menolak untuk tidur diatas hamparan tembikar. Nabi Muhammad yang lalu mengetahuinya malah mencela perbuatan tersebut.

Mengapa beberapa orang mengatakan begini dan begini ? Ketahuilah, aku sholat dan tidur, puasa dan berbuka, (juga) menikahi perempuan. Sebab itu siapa yang tidak menyukai sunnahku maka orang itu tidak termasuk golonganku !

Tegas sekali pernyataan beliau, orang nomor satu dalam Islam yang semua perkataan, pemikiran, kebijakan dan tingkah lakunya menjadi panutan dan acuan siapapun yang mengaku muslim mengenai adanya keseimbangan didalam hidup dan berkehidupan ini.

Suatu ketika Salman berziarah ke rumah Abu Darda, ia melihat Ummud Darda –istri dari Abu Darda-, memakai pakaian yang telah lusuh. Maka Salman berkata kepadanya: “Ada apa denganmu?” Ummud Darda’ menjawab: “Saudaramu Abu Darda tidak berhajat dengan apa yang ada di dunia ini.” Datanglah Abu Darda, lalu dibuatkan makanan untuknya. Salman berkata pada Abu Darda: “Makanlah.” “Aku sedang puasa,” jawab Abu Darda . “Aku tidak akan makan makanan ini sampai engkau mau makan,” sergah Salman.

Pada akhirnya Abu Darda membatalkan puasanya lalu menyantap hidangan yang telah disiapkan bersama Salman. Malam itu Salman menginap di kediaman Abu Darda. Ketika Abu Darda hendak bangkit untuk shalat (di awal) malam, Salman mencegahnya: “Tidurlah dulu,” katanya. Abu Darda pun tidur, namun tak berapa lama ia bangkit lagi untuk mengerjakan shalat. Kembali Salman mencegahnya: “Tidurlah kembali,” ucapnya. Ketika datang akhir malam, Salman berkata membangunkan Abu Darda: “Bangunlah sekarang”. Keduanya lalu menunaikan shalat malam. Setelahnya Salman menasihati saudaranya: “Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak terhadapmu. Jiwamu pun punya hak terhadapmu sebagaimana istrimu memiliki hak terhadapmu, maka tunaikanlah hak dari setiap yang memiliki hak.” Abu Darda mendatangi Nabi Shallallahu Saw lalu menceritakan hal tersebut kepada beliau, maka Nabi menanggapinya dengan ucapan beliau: “Benar apa yang dikatakan Salman tersebut.”

“Karena tubuhmu memiliki hak terhadapmu, matamu pun punya hak terhadapmu, demikian pula istrimu memiliki hak terhadapmu….” (HR. Al-Bukhari no. 1975 dan Muslim no. 2722)

Ada keselarasan atau keseimbangan diantara keduanya sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi sesuai dengan tujuan awal keberadaan atau eksistensi manusia sendiri dijadikan Allah sebagai Khalifah dibumi. Apabila kita menjadi Khalifah yang baik dalam artian sesuai dengan kehendak Allah maka itulah makna dari eksistensi kita dijadikan dalam kerangka beribadah kepada-Nya. Olehnya maka didalam Islam, kita harus Kaffah, totalitas, menyeluruh, lahir dan batin. Tidak boleh ada yang pincang dalam beragama, semua harus sesuai jalur dan garis yang ditentukan sehingga tercipta sebuah proporsionalitas dalam hidup dan kehidupan.

Orang yang sibuk berdzikir lisan tanpa berdzikir tindakan artinya dia secara tidak langsung menafikan fitrah kehidupan insaniahnya atau mengebiri nikmat jasadiah yang mestinya dia salurkan atau dia manfaatkan. Perilaku rahbaniah semacam ini sudah dikecam oleh Rasul sendiri dalam sejumlah riwayatnya. Artinya bahwa pendekatan kepada Allah memiliki makna pendekatan kepada makhluk-Nya, memberikan kemaslahatan pada lingkungannya sekaligus tanpa mengabaikan kebaikan serta kemaslahatan dirinya pribadi.

Didalam belajar dan mencari tahu, kita bisa memanfaatkan seluruh komponen indera kita secara maksimal. Kita juga tidak dilarang untuk memanfaatkan sumber-sumber dari luar Islam didalam proses pembelajaran tersebut. Nabi Saw bersabda :

Hikmah itu adalah barang orang mukmin yang hilang, dimanapun dia menemukannya, dia lebih berhak untuk memilikinya. (HR. At-Tirmidzi)

Demikian pula Imam Ali bin Abi Thalib, diriwayatkan pernah berkata serupa : “Hikmah itu barang berharga yang hilang dari seorang Mukmin, karena itu, dimanapun orang Mukmin menemukan hikmah, maka harus mengambilnya. Ambillah hikmah itu walaupun dari orang munafik!”

Dari dahulu saya selalu memiliki keyakinan bahwa semua hal … dari setiap apa yang diciptakan oleh Allah, dari setiap gejala alam yang tampak, dari berbagai fenomena yang mewabah, dari setiap peristiwa yang berlaku tentu punya pelajaran-pelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya, bisa kita ambil ilmunya untuk pendewasaan diri kita secara IQ maupun EQ. Hemat saya, kita bisa mendapatkan pembelajaran ini dari siapapun dan dari metode apapun. Even itu dari orang-orang kafir atau munafik sekalipun. Karena Kekafiran juga adalah satu bagian dari ayat-ayat Allah yang harus kita pelajari dan ambil hikmahnya, sebab tidak ada sesuatu yang ada dikehidupan ini yang tidak berguna.

Kita hanya akan dehidrasi di gurun sahara, hilang di segitiga bermuda, hipotemia di kutub utara dan tersesat di samudra antartika hanya karena kita tidak mau belajar apapun dari banyak sumber.

Heboh film 2012: We were warned, adalah pembicaraan yang sangat menarik akhir-akhir ini diberbagai media, tidak terkecuali di fesbuk, forum, televisi dan radio. Termasuk juga di Milis_Iqra@googlegroups.com dimana saya menjadi salah satu moderatornya. Setiap pembicaraan mengenainya selalu menuai kontroversi, mulai dari heboh pelarangan dari sekelompok ulama dari MUI Jawa Timur (yang justru kontradiksi dengan sikap MUI Pusat), content dari film yang berkaitan dengan isyu kiamat alias akhir dunia, visual efek yang luar biasa, marahnya sebagian orang karena tempat ibadahnya dihancurkan sementara satu tempat ibadah justru dibiarkan saja, kemaslahatan  atau kemudharatan dari menontonnya, perbandingan uang karcis dan donasi keumat serta lain sebagainya. Ramai dan terus ramai … membuat film ini semakin histeris dan populeritasnya semakin melambung.

Saya pribadi sudah mengeluarkan dua tulisan berkaitan dengan film ini, semuanya bisa dilihat pada blog arsiparmansyah.wordpress.com. Itu belum dihitung dari komen singkat atau keterlibatan diskusi saya pada sejumlah pihak diberbagai tempat, khususnya milis_iqra yang saya cintai.

Tulisan ini, lagi-lagi juga belum bisa lari jauh dari untuk tidak membahas tentang fenomena film 2012 yang disutradarai oleh Roland Emrich. Apa boleh buat, saya terpaksa menggunakan film ini sekali lagi sebagai salah satu bahan penulisan.

Berkaitan dengan pembelajaran yang bisa dilakukan oleh kita selaku umat Islam, rasanya tidak berlebihan bila saya juga mengatakan bahwa kita pada dasarnya juga sangat tidak tertutup kemungkinan untuk memetik hikmah dari film tersebut. Munculnya fatwa ataupun penafian terhadap film tersebut bagi umat Islam dan mengkait-kaitkannya terhadap isu-isu dalam kitab suci ataupun hukum-hukum agama juga terlalu berlebihan. Karena memang isi dari film ini tidak ada sedikitpun yang sifatnya melecehkan agama Islam, sebaliknya, terlepas dari alasan yang dikemukakan oleh sang sutradara untuk tidak melakukannya, Ka’bah sebagai salah satu simbol keagamaan didalam Islam justru menjadi obyek yang tidak divisualisasikan hancur dalam film ini. Sementara kita bisa dengan jelas melihat kehancuran Vatikan dan St. Basilika (termasuk patung Yesus di Rio Jeneiro) yang menjadi simbol kebesaran agama Kristen atau juga bagaimana kita divisualisasikan bila istana atap langit milik Dalai Lama harus porak-poranda oleh terjangan tsunami raksasa.

Ini memang sekedar film dan mestinya bisa diperlakukan sesuai porsinya sendiri yaitu sebagai hiburan dan bagian pembelajaran dalam banyak hal. Seperti yang panjang lebar sebelum ini saya bahas, kita boleh belajar hal positip dari manapun sumbernya.

Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertaqwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengerahui. (Qs. 2 al-Baqarah: 224)

Bahwa apa yang divisualisasikan dalam film 2012 tentang beragam kejadian alam seperti gempa bumi, letusan gunung, tsunami dan lain sebagainya sangat bisa untuk kita jadikan bahan perenungan dan perbandingan secara subyektif terhadap pemberitaan yang disampaikan oleh kitab suci mengenai huru-hara dihari kiamat. Meskipun sekali lagi saya katakan, film 2012, sama sekali tidak bercerita mengenai kiamat Qubro seperti yang ada dalam keyakinan masyarakat Islam.

Setiap manusia memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Dalam buku Quantum Learning dipaparkan tiga cara alamiah seseorang dalam mempelajari sesuatu. Yaitu : “secara visual, auditori atau kinestetik”. Dan sebagai manusia, kita memiliki sebuah sistem yang bisa disebut sebagai superlink, yaitu cara untuk mempermudah, mempercepat serta membuat nyaman sebuah proses pembelajaran yang berkaitan dengan penggunaan kedua sisi otak manusia sebagai penerimanya. Inilah kiranya kenapa Allah menciptakan panca indera yang sangat lengkap dan sempurna bagi makhluk bernama manusia.

Kita juga tahu bila kecenderungan pemakaian sisi otak yang biasa kita lakukan adalah dominasi fungsi otak hanya pada satu sisi, yaitu pada otak kiri atau otak kanan. Pengguna otak kiri cenderung memproses informasi secara bertahap dan linier. Sedangkan pengguna otak kanan cenderung berpikir global, melihat segalanya sebagai sebuah gambaran yang luas serta senang menghubungkan segala sesuatu yang nampaknya tidak saling berhubungan.

Tidak setiap dari kita memiliki kesamaan dalam penerimaan pesan dan informasi untuk bisa disimpan didalam otak dan dipelajari guna sebuah proses kemapanan diri dan pendewasaan kepribadiannya. Ada yang kesulitan memahami teks-teks didalam sebuah buku tanpa melihat contoh visualisasi praktek yang menghantarkannya pada pemahaman yang dimaksud oleh buku tersebut. Ada pula yang cukup mengandalkan pendengarannya saja dalam menerima dan mempelajari sesuatu, mereka dapat mencerna makna yang disampaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara dan hal-hal auditori lainnya. Tetapi patut dicatat, bahwa tipe inipun biasanya masih mengalami kesulitan memahami teks-teks diatas kertas sampai ia mendapat ulasan verbalnya secara lisan. Sementara kinestetik adalah cara pembelajaran dengan sifat harus berhubungan langsung, seperti menyentuh-mendengar dan melihat. Dalam metode role playing yang sekarang sedang banyak diterapkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia (termasuk sekolah Internasional tempat saya mengajar), kita juga mencoba mengembangkan penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan.

Oleh karenanya, kembali pada konteks agama, selama itu bisa dimanfaatkan sebagai jembatan seseorang untuk memahami agama yang mereka yakini, maka tidak ada salahnya untuk dilakukan sembari tetap mengawalnya pada batas-batas koridor yang dikhawatirkan dapat menyimpang.

Menonton sebuah film dan mendapatkan pelajaran darinya sekaligus menghibur diri, tidak bisa dihukum berdosa selama apa yang menjadi bahan tontonan dan hiburan itu memang tidak keluar dari garis-garis syariat yang ditentukan. Terutama yang dapat membelokkan akidah orang dari jalan Tauhid atau kemusrikan kepada Allah. Dalam bahasa sederhana, kembali pada asas tontonan yang bisa menjadi tuntunan atau minimal jembatan yang menuntun seseorang pada jalan Tuhan dan pemahaman pesan-pesan yang Dia sampaikan melalui kitab suci-Nya.

Dalam hal menghibur diri, Rasulullah Saw dipercaya telah bersabda :

“Demi Allah yang jiwaku ada pada gengamanNya , jika kalian di rumahmu masing-masing berzikir dan berada dalam keadaan yang sama seperti kamu berada di sisiku, maka tentu para malaikat akan berjabatan tangan dengan kalian dan akan melindungi kalian dengan sayapnya. Tetapi, wahai Hanzhalah (kehidupan ini) kadang-kadang begini dan begitu (Rasulullah s.a.w. mengulangi-ulangi kata-kata tersebut sebanyak tiga kali)” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Hanzhalah Al-Asdi).

“Legakanlah hatimu sekali-kali.” (HR. Abu Daud dari Ibnu Syihak Az-Zuhri dengan sanad mursal dan hasan).

Kita semua terlahir dengan penuh kefitrahan manusiawi kita. Terkadang kita butuh terhadap penghiburan, terkadang kita merasa hati kita bahagia dan sedih, tertawa atau juga menangis. Marah serta tersenyum.

Para sahabat mensifati Rasulullah Saw bahwa beliau adalah termasuk orang yang sering bergurau. (Kanzul ‘Ummal, no: 184)

Saya kutipkan juga dari buku Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an & Sunnah karya Dr. Yusuf Qardhawi yang bisa diakses pada situs  Islamic Network berikut:

http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Masyarakat/SeniLawak.html

Kita dapatkan bahwa Rasulullah SAW di rumahnya juga bergurau dengan isteri-isterinya dan mendengarkan cerita mereka. Sebagaimana diceritakan di dalam haditsnya Ummu Dzar yang terkenal di dalam shahih Bukhari. Kita lihat juga bagaimana perlombaan Nabi SAW dengan ‘Aisyah RA di mana sesekali ‘Aisyah menyalipnya dan sesekali Nabi mendahuluinya, maka Nabi bersabda kepadanya, “Ini dengan itu (satu-satu).”

Diriwayatkan juga bahwa punggung Rasulullah SAW pernah ditunggangi oleh kedua cucunya Hasan dan Husain ketika masih kecil. Beliau dan kedua cucunya menikmati tanpa rasa berat. Ketika itu ada salah seorang sahabat yang masuk dan melihat pemandangan itu, maka sahabat itu berkata, ..Sebaik-baik yang kamu naiki adalah yang kamu naiki berdua.” Nabi SAW berkata, “Sebaik-baik yang naik adalah keduanya.”

Rasulullah SAW juga pernah bergurau dengan nenek-nenek tua yang datang dan berkata, “Doakan aku kepada Allah agar Allah memasukkan aku ke surga,” maka Nabi SAW berkata kepadanya, “Wahai Ummu Fulan! Sesungguhnya surga itu tidak dimasuki orang yang sudah tua,” maka wanita tua itu pun menangis, karena ia memahami apa adanya. Maka Rasulullah SAW memahamkannya, bahwa ketika dia masuk surga, tidak akan masuk surga sebagai orang yang sudah tua, tetapi berubah menjadi muda belia dan cantik. Kemudian Nabi SAW membaca firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (wanita-wanita surga) itu dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (Al Waqi’ah: 35-37)

Ada seorang laki-laki datang ingin dinaikkan unta, maka Nabi bersabda, “Saya tidak akan membawamu kecuali di atas anak unta,” maka orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang dapat saya perbuat dengan anak unta?” Ingatannya langsung ke anak unta yang masih kecil. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Apakah ada unta yang melahirkan kecuali unta juga?”

Zaid bin Aslam berkata, Ada seorang wanita bernama Ummu Aiman datang ke Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya suamiku mengundangmu.” Nabi berkata, “Siapakah dia, apakah dia orang yang matanya ada putih-putihnya?.” Ia berkata, “Demi Allah tidak ada di matanya putih-putih!.” Maka Nabi berkata. “Ya, di matanya ada putih-putih,” maka wanita itu berkata, “Tidak, demi Allah.” Nabi berkata, “Tidak ada seorang pun kecuali di matanya ada putih-putihnya.” (Az-Zubair bin Bakar dalam “Al Fakahah wal Mizah” dan Ibnu Abid-Dunya). Yang dimaksud dalam hadits ini adalah putih yang melingkari hitamnya bola mata.

Anas berkata, “Abu Talhah pernah mempunyai anak bernama Abu ‘Umair, dan Rasulullah SAW pernah datang kepadanya lalu berkata, ‘Wahai Abu ‘Umair apa yang diperbuat oleh Nughair (burung kecil)?’ Karena anak burung pipit yang dipermainkan.”

‘Aisyah berkata, “Rasulullah SAW dan Saudah binti Zam’ah pernah berada di rumahku, maka aku membuat bubur dan tepung gandum yang dicampur dengan susu dan minyak, kemudian aku hidangkan, dan aku katakan kepada Saudah, ‘Makanlah’ maka Saudah berkata, ‘Saya tidak menyukainya,’ Maka aku berkata, ‘Demi Allah benar-benar kamu makan atau aku colekkan bubur itu ke wajahmu, ‘ maka Saudah berkata, ‘Saya tidak mau mencicipinya, ‘ maka aku (‘Aisyah) mengambil sedikit dari piring, kemudian aku colekkan ke wajahnya, saat itu Rasulullah SAW menurunkan kepada Saudah kedua lututnya agar mau mengambil dariku, maka aku mengambil dari piring sedikit lalu aku sentuhkan ke wajahku, sehingga akhirnya Rasulullah SAW tertawa.” (HR. Zubair bin Bakkar di dalam kitabnya “Al Fukahah”)

Diriwayatkan juga sesungguhnya Dhahhak bin Sufyan Al Kallabi adalah orang yang berwajah buruk. Ketika dibai’at oleh Nabi SAW maka Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku mempunyai dua wanita yang lebih cantik daripada si Merah Delima ini (‘Aisyah),–ini sebelum turun ayat tentang hijab–, “Apakah tidak sebaiknya aku ceraikan salah satunya untukmu, kemudian kamu menikahinya?” Saat itu ‘Aisyah sedang duduk mendengarkan, maka Aisyah berkata, ‘Apakah dia lebih baik atau engkau?” Maka Dhahhak menjawab, “Bahkan saya lebih baik daripada dia dan lebih mulia.” Maka Rasulullah SAW tersenyum karena pertanyaan ‘Aisyah kepadanya, karena ia laki-laki yang berwajah buruk. ‘ (HR. Zubair bin Bakkar di dalam “Al Fukaahah”)

Rasulullah SAW senang untuk menebarkan kegembiraan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia, terutama di dalam momen-momen seperti hari raya atau pesta pernikahan.

Ketika Abu Bakar RA tidak setuju dengan nyanyian dua budak wanita pada hari raya di rumahnya dan mengusir keduanya, maka Nabi berkata kepada Abu Bakar, “Biarkan keduanya, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.”

Di dalam riwayat lain dikatakan, “Agar orang-orang Yahudi mengetahui bahwa sesungguhnya di dalam agama kita ini ada hiburan.”

Rasulullah SAW juga pernah mengizinkan kepada orang-orang Habasyah untuk bermain dengan tombak mereka di Masjid Nabawi pada hari-hari besar dan Nabi SAW mendorong mereka, “Di bawahmu wahai Bani Arfidah.”

Rasulullah SAW memberi kesempatan kepada Aisyah RA untuk melihat mereka dari belakangnya, sedangkan mereka terus bermain dan menari, dan Nabi tidak memandang demikian itu sebagai dosa.

Pada suatu hari beliau pernah menegur suatu pesta perkawinan yang sepi-sepi saja, tidak disertai permainan atau lagu-lagu. Beliau mengatakan, “Mengapa tidak ada permainannya? Sesungguhnya kaum Anshar itu tertarik dengan permainan.”

Di dalam sebagian riwayat Rasulullah SAW bersabda, “Mengapa kamu tidak mengirimkan bersamanya orang yang menyanyi dan mengatakan. ‘Kami telah datang kepadamu… kami telah datang kepadamu… (karena itu) sambutlah kami…,’ sebagai ucapan selamat kami untukmu.”

Para sahabat Nabi SAW dan orang-orang yang mengikuti mereka (para tabi’in) adalah sebaik-baik generasi, namun mereka juga tertawa dan bergembira karena mengikuti petunjuk Nabinya. Sampai orang seperti Umar bin Khaththab yang terkenal kerasnya, juga pernah bergurau dengan budaknya. Umar mengatakan kepada budaknya, “Aku diciptakan oleh Pencipta orang-orang mulia, dan engkau diciptakan oleh Pencipta orang-orang durhaka!” Ketika Umar melihat budaknya sedih karena kata-kata itu, maka Umar menjelaskan dengan mengatakan, “Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan orang-orang mulia dan orang-orang durhaka kecuali Allah ‘Azza wa Jalla.”

Sebagian sahabat ada yang bersenda gurau dan Rasulullah SAW pun membiarkan dan menyetujui. Hal seperti ini terus berjalan setelah Rasul SAW wafat. Semua itu diterima oleh para sahabat, tidak ada yang mengingkari, meskipun seandainya peristiwa itu terjadi sekarang pasti akan diingkari oleh sebagian besar aktifis Islam dengan pengingkaran yang keras, bahkan mungkin mereka menganggap pelakunya tergolong orang-orang yang fasik atau menyimpang.

Akhirnya, kata pengantar akhir dari saya pribadi (Arman) bahwa kebanyakan dari kita sering bertindak terlalu apatis terhadap kebenaran yang diungkapkan oleh orang lain, terlebih jika orang tersebut memiliki cara pandang yang berseberangan dengan apa yang kita yakini kebenarannya. Padahal belum tentu semua yang ada dalam pemikiran orang tersebut salah dan sebaliknya belum tentu juga setiap pikir dan tindakan kita bernilai benar; bisa saja kita bersikap konsisten terhadap nilai-nilai yang kita anut sehingga kita menyebutnya sebagai sebuah kebenaran namun bukan tidak mungkin konsistensi kita tadi hanya ilusi dimana pikiran kita sesungguhnya berjalan sesuai pola logika yang bisa bergeser dan menyimpang.

Pikiran kita memang seringkali tidak menyimpang kalau kita bandingkan dengan standar kita sendiri. Padahal standar kita dibentuk oleh pikiran kita yang bisa jadi pula dipengaruhi oleh orang lain. Jadi, maksud saya acapkali pikiran kita ternyata hanya tidak menyimpang dari pikiran kita sendiri atau kelompok dimana kita berkomunitas.

Allah menjadikan kita lengkap dengan panca indera berikut fungsinya adalah untuk menangkap dan menyerap semua nilai-nilai kebenaran yang berserakan disemesta raya, ini adalah tools atau alat yang harus dioptimalisasikan penggunaannya.

Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi ? padahal mereka mempunyai hati yang dengan hati itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar; Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. – Qs. 22 al-Hajj : 46

Sesungguhnya Allah juga berfirman : Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa’ : 63

Semoga tulisan ini bermanfaat.,

Salam dari Palembang …

Armansyah

2 Responses

  1. mungkin mas arman bisa posting di milis iqra soal angka 2012 dari blog ini

    21-12-2012 – Ki Amat, Nyi Amat atau Sekedar Kehabisan Angka.

    atau soal gempa2 baru-baru ini di indonesia yg banyak berspekulasi dengan mengatakan bahwa bencana akan berkorelasi dengan dosa oleh kaum yang ada di daerah itu.

    Peta Zonasi Dosa, Perlukah ?

  2. Assalamualaikum…saya sangat kagum dengan tinjauan saudara armansyah..semoga terus berkarya…
    sekalian kami numpang promo edisi awal majalah online gratis kami , siapa tahu bung armansyah berkenan memberi masukan atau artikel untuk kami, wassalam
    http://www.4shared.com/file/246113248/90337ff5/Majalah_Ababil_Edisi_1_Maret_2.html

Comments are closed.