Lafazh “Sholabu-hu” Re: Terjemah An Nisa:157 (1)

 

Wa’alaykumsalam Wr. Wb.,

 

Alhamdulillah, berbicara tentang kamus al-Munawwir (Arab-Indonesia), maka saya katakan pula bahwa kamus tersebutpun ikut menjadi salah satu acuan saya dalam memahami dan menganalisa ayat-ayat al-Qur’an dan literatur ke-Islaman lainnya, disamping kamus al-Mawrid 1979 (English-Arab) terbitan Beirut atau kamus al-Qur’annya Nazwar Syamsu terbitan Ghalia Indonesia serta sejumlah kamus Arab digital.

 

Intinya begini mengenai makna kata sholabu-hu dalam konteks 4/157, bahwa penolakan al-Qur’an tentang penyaliban atas diri Isa al-Masih didahului dan diakhiri oleh penolakan al-Qur’an tentang pembunuhannya sebagaimana dakwaan kaum Bani Israel.

 

Jika kemudian al-Qur’an menyinggung tentang ketidak tersaliban Isa, maka disini saya lebih melihat al-Qur’an menafikan makna hukuman salib itu sendiri yang dijatuhkan kepada diri Isa al-Masih. Seperti yang kita tahu, terminologi al-Qur’an tentang makna penyaliban adalah sebagai bentuk hukuman bagi orang yang melawan Allah dan Rasul serta membuat kerusakan dibumi, terminologi al-Qur’an ini tidak berbeda jauh dengan makna penyaliban dalam terminologi Yahudi, bahwa orang yang digantung dikayu palang adalah orang yang terkutuk (lepas dia mati atau hidup, dipaku atau tidak).; Karena Isa adalah Rasul Allah, orang yang justru berada dipihak kebenaran dan berjalan diatas manhaj-Nya Allah, maka praktis sekalipun dia terpaksa harus berada diposisi tergantung seperti itu maka makna penyaliban secara terminologi itulah yang dibantah oleh al-Qur’an, keberadaan Isa disana bukan sebagai orang yang salah, bukan sebagai terdakwa seperti hujatan-hujatan umat Yahudi, karena itu diayat selanjutnya al-Qur’an berkata bahwa Allah mengangkat Isa kepada-Nya, yang artinya Allah justru meninggikan derajatnya melebihi celaan, ejekan maupun pendapat musuh-musuhnya. Karena itu memang batallah makna penyaliban yang dikenakan pada diri Isa al-Masih.

 

Sama kasusnya dengan misalnya kasus hijrahnya Muhammad atau Ibrahim atau Musa dari tempat asalnya menuju ketempat lain karena mereka dimusuhi oleh musuh-musuhnya, tidak bisa disebut sebagai orang yang melawan Tuhan atau membuat kerusakan dalam tatanan masyarakat (dunianya), karena memang mereka adalah orang-orang yang berada disisi Tuhan.

 

Demikian secara singkat.

 

 

 

 

 

 

 

 

Wassalamu’alaykum Wr. Wb.,

 

 

 

ARMANSYAH

 

—– Original Message —–

From: <abu.abd.halim@gmail.com>

To: “Milis_Iqra” <Milis_Iqra@googlegroups.com>

Sent: Sunday, September 02, 2007 11:55 AM

Subject: [Milis_Iqra] Re: Lafazh “Sholabu-hu” Re: Terjemah An Nisa:157


>
> Ralat dan tambahan.
>
>
http://quranhadis.wordpress.com/2007/08/31/lafazh-sholabu-hu/
>
> Ayat [4:157]:
>
> dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih,
> Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan
> tidak (pula) menyalibnya (sholabu-hu), tetapi (yang mereka bunuh
> ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya
> orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-
> benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak
> mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
> persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh
> itu adalah Isa.
>
> Dalam Kamus Bahasa Arab Al Munawwir, kata kerja “sholaba” memiliki
> beberapa arti:
>
> [1] Menyalib.
>
> [2] Memanggang.
>
> [3] Membakar, menghanguskan.
>
> [4] Terus menerus serta hebat (serius).
>
> [5] Menopang.
>
> [6] Mengeluarkan lemaknya (sumsumnya).
>
> Untuk ayat di atas, jelas bahwa TPDA menggunakan makna yang pertama.
> Dan penyaliban adalah hukuman dengan cara mengikat atau memaku korban
> ke sebuah salib. Dengan menggunakan pengertian ini, maka yang dimaksud
> dengan penafian penyaliban Isa dalam lafazh “wa ma- sholabu-hu” adalah
> penafian Isa telah diikat atau dipaku ke sebuah salib. Pemisahan dalam
> ayat di atas, antara perbuatan “membunuh” dan “menyalib” mengesankan
> bahwa keduanya memiliki perbedaan. Membunuh tidak mesti dengan
> menyalib. Dan menyalib tidak mesti sampai membunuh.
>
> Kutip:
>
> Jadi seseorang yang hanya mengalami pemakuan di tiang kayu namun tidak
> mengalami pematahan tulang dan sumsum dan mati maka tidak bisa
> dikatakan telah di hukum salib tetapi dia disebut menyerupai
> penyaliban saja.
>
> Kritik:
>
> Dari ucapan di atas disimpulkan bahwa menyalib itu satu perbuatan yang
> terdiri atas dua perbuatan: memaku ke tiang salib dan meremukkan
> tulang. Tanpa peremukkan tulang, maka penyaliban tidak dapat disebut
> penyaliban melainkan hanya sekedar menyerupai penyaliban. Dengan
> demikian, kata kerja “sholaba” dalam ayat di atas tidak hanya
> menggunakan makna pertama, tapi juga diharuskan mengandung makna
> keenam. Disebut “diharuskan” karena tanpa makna keenam -menurut ucapan
> terkutip- kata kerja “sholaba” itu tidak dapat diartikan dengan
> “menyalib”. Pemaknaan ini dapat dikritik dari beberapa sudut:
>
> Pertama, ia mengharuskan sesuatu yang bukan merupakan sebuah keharusan
> dalam Bahasa. Makna pertama “menyalib” dapat berfungsi untuk lafazh
> “sholaba” walaupun tidak disertai dengan perbuatan “mengeluarkan lemak/
> sumsum”. Sebagaimana makna keenam “mengeluarkan lemak/sumsum” dapat
> berfungsi untuk lafazh “sholaba” walaupun tidak disertai dengan
> penyaliban. Kemandirian masing-masing makna dalam menjelaskan lafazh
> “sholaba” itu adalah fakta yang tak terpungkiri dalam realitas
> berbahasa. Terbukti dengan kenyataan bahwa seseorang yang sudah mati
> sekalipun, kalau ia dipakukan ke sebuah salib -tanpa diremukkan tulang
> kakinya- maka ia akan disebut “disalib”.
>
> Kedua, kalaupun makna pertama harus juga disertakan dengan makna
> keenam untuk menjelaskan lafazh “sholaba”, maka orang yang disalib
> hanya dapat dikatakan telah disalib kalau tulangnya tidak hanya
> sekedar diremukkan atau dipatahkan, melainkan juga dikeluarkan sumsum/
> lemaknya. Hal ini tentu bertentangan dengan fakta penyaliban itu
> sendiri yang tidak mengharuskan pengeluaran sumsum tulang orang yang
> disalib. Kalau peremukkan atau pematahan tulang dianggap juga sebagai
> pengeluaran sumsum tulang maka anggapan ini jelas keliru. Sebab sumsum
> tulang yang patah tidak akan keluar begitu saja kecuali kalau memang
> sengaja dikeluarkan. Adapun tujuan peremukkan tulang orang yang
> disalib adalah untuk mempercepat kematiannya. Sedangkan pengeluaran
> sumsum tulang orang yang disalib tidak memiliki tujuan apapun selain
> menambah kesadisan eksekusi.
>
> Ketiga, berhubung eksekusi penyaliban itu sendiri digunakan dalam
> Syari’at Islam, maka perlulah ditegaskan bahwa penyaliban dalam Islam
> bahkan tidak mesti disertai dengan peremukkan atau pematahan tulang,
> apalagi pengeluaran sumsum/lemak tulang orang yang disalib. Meskipun
> begitu, eksekusi penyaliban itu tetap dikatakan sebagai eksekusi
> penyaliban dan bukan eksekusi yang menyerupai penyaliban.
>
> Walla-hul muwaffiq.
>
>
> –~–~———~–~—-~————~——-~–~—-~
> -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=-
> Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
> dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
>
> Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa’ : 63
>
> Gabung :
Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
>  Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
>    Situs :  http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
>     Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
> -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=-
> -~———-~—-~—-~—-~——~—-~——~–~—
>

Lillahita’ala

Wa’alaykumsalam Wr. Wb.,

 

Allah menjadikan kita pada hakekatnya berfungsi sebagai khalifah-Nya diatas dunia ini, tugas kekhalifahan inilah yang apabila dijalankan dengan semestinya dilandasi oleh petunjuk-petunjuk yang Dia sampaikan dalam bentuk wahyu tekstual maupun pemahaman kita terhadap ayat-ayat universal-Nya maka akan menjadi ibadah buat kita.

 

Sistematika kehidupan kita ini dimulai dari setetes mani yang bercampur untuk kemudian seiring dengan sunnatullah atau hukum alamnya terus mengalami perkembangan tahap demi tahap sehingga menjadi sosok manusia sempurna, dan itupun baru pada tahapan bayi kecil tak berdaya, kembali kita tunduk pada kaidah sunnatullah yang berproses sampai menjadi dewasa dan tua, demikian seterusnya.

 

Ini hendaknya menjadi bagian dari pembelajaran atas kedewasaan pola pikir dan pola pemahaman kita terhadap segala sesuatunya, jika awalnya kita bertindak hanya karena ikut-ikutan, maka mulailah kita belajar kenapa kita melakukan sesuatu atau kenapa kita harus mempercayai sesuatu itu sebagai sebuah kebenaran, demikian pula misalnya dalam hal ibadah, jika sebelumnya kita beribadah hanya karena mengharap surga atau takut karena neraka, maka belajarlah untuk mulai menyikapi fenomena surga dan neraka sebagai motivator kita kepada tingkat ibadah yang lebih tinggi lagi yaitu tingkat ibadah yang hanya berharap ridho-Nya Allah.

 

Dengan demikian maka tingkat keikhlasan kita beribadahpun secara berangsur-angsur tumbuh dengan sendirinya, karena yang ada dipikiran kita, ibadah itu untuk menyenangkan Allah (ini istilah saya) dan bukan untuk menyenangkan diri kita (egoistik sebab mengharap kenikmatan surgawi).

 

Lalu bagaimana bila kita masih mengharap pahala dalam beribadah ? salahkah ?

Salah atau tidak akhirnya kembali kepada seberapa jauh good-will kita melakukannya, tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan surga dan nerakanya, tapi mulailah kita belajar untuk mencapai maqam lebih tinggi dari sekedar itu.

 

Anggaplah ibadah karena mengharap pahala tertentu itu adalah ibadahnya anak kecil, dan karena kita sudah tidak lagi kecil, maka kitapun harus meng-update sasaran ibadah kita, sebab demikianlah yang seharusnya seperti yang tercantum dalam surah 6 ayat 162.

 

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Robb semesta alam -Qs. al-An’am 6:162

 

 

Wassalamu’alaykum Wr. Wb.,

 

 

 

ARMANSYAH

 

 

—– Original Message —–

From: ria meina

To: Milis_Iqra@googlegroups.com

Sent: Saturday, September 01, 2007 10:10 PM

Subject: [Milis_Iqra] makna lillahi ta’ala?

 

Assalamualaikum….

Mau tanya:
– Sebenarnya “lillahi ta’ala” itu yg seperti apa?
– Mengharapkan ridho ALLAH apakah bisa disamakan dengan mengharapkan pahala?
– Apakah “hanya karena ALLAH” itu diartikan tanpa pamrih dapat pahala…???
– Bagaimana seandainya ibadah & amal shaleh yg dilakukan adalah karena harapan dapat pahala?? Apakah ini berarti belum “lillahi ta’ala”?

–~–~———~–~—-~————~——-~–~—-~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa’ : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs :  http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=–=-=-=-=-=-=-=-
-~———-~—-~—-~—-~——~—-~——~–~—

Kemuliaan akal

Salamun ‘ala manittaba al Huda

 

Mas Dani Permana yang InsyaAllah dirahmati Allah.,

 

Saya sudah membaca apa yang anda postingkan dan sekaligus melihat rujukan alamat dimana anda mengambil rujukan tersebut, sekarang semuanya bagi saya telah jelas bagaimana “medan diskusi” yang saya hadapi.

 

Penolakan mas Dani tentang pemahaman akal = makhluk, semata-mata karena seperti yang anda katakan bahwa hal tersebut tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis, kalaupun misalnya ada sejumlah hadis yang menyebutkan akal sebagai sesuatu yang diciptakan (dan karenanya praktis akal disini menjadi bagian dari kemakhlukan seperti yang saya sampaikan) maka hadis itu mas Dani tolak karena dianggap lemah dan palsu. Sementara pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang berbicara tentang akal dan fungsinya dalam diri manusia menurut mas Dani Permana, tetap tidak bisa disimpulkan bahwa akal = makhluk.

 

Logika yang sempat mas Dani tawarkan sebelumnya, jika akal = makhluk, maka berarti didalam diri manusia ini ada 2 makhluk, setelah saya jawab bahwa didiri manusia sebenarnya tidak hanya ada 2 makhluk tetapi jutaan makhluk sesuai kajian ilmu-ilmu kedokteran modern, akhirnya logika tersebut tidak lagi dijawab sama mas Dani dan menyelesaikan diskas kita itu dengan pernyataan : akal # makhluk, karena Allah dan Rasul-Nya tidak berkata demikian, dan mas Dani juga meminta saya untuk tidak memaksa anda menjawab tentang hal tersebut.

 

Inilah sebenarnya mas Dani yang sempat saya singgung dibeberapa posting bahwa masih banyak orang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memahami kaidah keagamaan secara lebih baik dengan ilmunya tetapi cenderung dogmatis karena akalnya tidak sepenuhnya difungsikan untuk itu, maaf jika dirasa menyinggung dihati.

 

Seperti yang bisa dibaca dalam alamat situs yang mas Dani rujuk itu, yang bisa saya simpulkan secara singkat bahwa dalam kaitan memahami al-Qur’an, khususnya disini saya tekankan adalah pemahaman hadis (yang dianggap) shahih (oleh satu kelompok didalam Islam), maka akal praktis tidak bisa dikedepankan. ( tanda didalam kurung adalah tambahan kritik dari saya untuk memperlihatkan pemahaman saya dari kesimpulan tersebut).

 

Contoh yang terang-terangan dilansir ditulisan tersebut adalah mengenai riwayat penonjokan mata malaikat maut oleh Nabi Musa, semua pemahaman atau penafsiran yang coba diajukan secara aqly atas nash tersebut tidak bisa dibenarkan alias terima saja tanpa perlu dibahas, yang penting iman, masalah masuk akal atau tidaknya tidak perlu dipermasalahkan.

 

Sikap seperti ini yang mungkin sangat-sangat tidak saya anut dalam beragama, saya sepakat bahwa akal hanya tunduk oleh wahyu, dan konteks wahyu disini adalah wahyu tekstual (wahyu berita) berupa al-Qur’anul karim yang terjaga originalitasnya dari sentuhan intervensi manusia dari semua sisi-sisinya.

 

Akal halnya dengan al-Hadis, maka saya selalu berpandangan bahwa lapangan untuk pembahasan serta pengkritikannya masih bisa dibuka selebar-lebarnya secara aqly, tidak ada yang tabu atau dosa atasnya karena memang untuk al-hadis, sama sekali tidak ada jaminan otoritas penjagaan dari sisi Allah sebagaimana halnya al-Qur’an, bahkan untuk al-hadis sendiri oleh para ulama dikembangkan sekian banyak ilmu-ilmu dalam rangka uji konsistensi dan validasinya sebelum diterima atau ditetapkan sebagai shahih dan tidak shahih, dhaif dan maudhu’, hasan dan mutawatir serta sebagainya.

 

Disatu sisi, penulisan al-Hadis sempat menjadi bahan diskusi menarik bagi tokoh-tokoh perdana Islam yang tidak lain dari para sahabat Rasulullah karena memang Rasul sendiri melarang melakukannya, bahkan Abu Bakar diriwayatkan sempat berpikir untuk melakukannya tetapi setelah sekian waktu memikirkannya akhirnya rencana itu dibatalkan dan semua koleksi hadisnya dimusnahkan, demikian juga dengan Umar bin Khattab, khalifah kedua Islam, disatu riwayat juga beliau dikabarkan pernah mencambuk Abu Hurairah karena dianggap terlalu sering dan mudah membacakan hadis Rasul ketengah masyarakat Islam sambil disertai ancaman pengasingan atasnya, belum lagi kritik dari ‘Aisyah sang istri Rasul terhadap Abu Hurairah dalam hal yang sama.

 

Faktapun memperlihatkan kepada kita bahwa perang antar hadis pernah terjadi dimasa awal tumbuh tegaknya Islam antara kubu Bani Umayyah yang disponsori oleh Muawiyah melawan kubu Bani Hasyim yang disponsori oleh orang-orang pencinta ahli Bait Rasulullah.

 

Belum lagi masuknya sejumlah pemikiran yang di-indikasikan berasal dari orang-orang eks penganut ajaran Taurat dan Injil kedalam Islam yang diatasnamakan kepada hadis yang bersumber kepada Rasulullah SAW.

 

Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang membuat saya tidak bisa membenarkan sepenuhnya penyandaran akal kepada seluruh nash-nash hadis yang sampai ketangan kita hari ini meskipun sudah dianggap shahih sekalipun oleh imam-imam tertinggi dibidangnya seperti Bukhari dan Muslim.

 

Dalam pandangan Islam yang saya pahami, iman adalah pembenaran yang pasti yang sesuai dengan kenyataannya disertai dengan dalil-dalil atau argumen yang pasti
kebenarannya. Jadi suatu pembenaran yang tidak pasti, tidak bisa disebut iman. Pembenaran yang pasti tersebut tidak mungkin tercapai kalau masih dilandasi argumen yang masih meragukan; baik alasannya disandarkan pada pemikiran (dalil aqli) maupun pemberitaan (dalil naqli).

 

Apalagi al-Qur’an berkata bahwa yang kesimpulannya, kebenaran yang kita peroleh dari berita (dalil naqli) harus terlebih dahulu dibuktikan secara akal. Artinya, sumber yang memberitakannya harus kita yakini kebenarannya secara akal. Perkara-perkara yang dibenarkan secara pasti, dalam Islam, pokok-pokoknya adalah apa yang tertera dalam Rukun Iman (arkanul-iman). Artinya, segala hal yang kita yakini kebenarannya, tidak otomatis sebagai keimanan dalam Islam. Dari enam pokok-pokok keimanan inilah berkembang cabang-cabang keimanan lainnya, seperti iman kepada Sifat-Sifat Allah, percaya tanpa keraguan bahwa tidak ada kematian tanpa datangnya ajal, atau bahwa ajal itu hanya Allah yang menentukan. Begitu juga mengimani bahwa yang memberi rezeki hanyalah Allah, beriman kepada Yaumul Hisab, beriman kepada kenikmatan surga dan dahsyatnya azab neraka, beriman bahwa Allah itu tidak memiliki sekutu dan semua yang diluar Allah adalah ciptaan ataupun sesuatu yang berasal dari ilmu-Nya dan praktis berkedudukan selaku makhluk atas al-Khaliq. 

 

Dalam perkara keimanan, Islam melarang seorang muslim bertaklid atau hanya ikut-ikutan. Pembenaran yang pasti dari seorang muslim tidak mungkin dicapai hanya dengan ikut-ikutan, tanpa memahami permasalahan yang sebenarnya. Kaum muslimin dilarang mengikuti keyakinan-keyakinan pendahulu mereka yang bertentangan dengan Islam, lebih-lebih al-Qur’an dan pemikiran.

 

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, `Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah’, mereka menjawab: `(Tidak), tetapi kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek  moyang mereka tidak mengikuti suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. Al-Baqarah:170).

 

Iman adalah masalah pokok dan paling dasar dalam agama Islam. Bagi peradaban Islam, keimanan ibarat tiang-tiang pondasi bangunan. Karena itu, hal yang fundamen ini tidak boleh diputuskan tanpa proses berpikir  yang jernih. Kita mesti mempertimbangkan mana yang layak diimani dan mana yang mesti ditolak. Dengan kata lain, apakah suatu hal itu secara akal benar atau tidak – dalam perkara-perkara yang bisa dan mungkin dijangkau oleh akal seperti  yang pernah saya kemukakan pada kesempatan sebelum ini.


Sebab jika salah dalam menentukan keputusan tentang hal ini, berarti hal lain yang terlahir dari keyakinan tersebut juga salah. Oleh sebab itu, keimanan dalam Islam harus dicapai dengan pemikiran yang jernih (fikrul-mustanir), dengan memperhatikan segala aspek yang bisa kita saksikan (baik alam semesta, manusia maupun kehidupan) secara menyeluruh dan mendalam. Sehingga keputusannyapun merupakan keputusan yang jernih. Disamping itu, jika masalah keimanan, yang asasi ini, diraih tanpa pemikiran yang jernih, keyakinan yang diperoleh pun merupakan keyakinan yang goyah dan lemah, sehingga mudah terombang-ambing serta tidak akan berbekas dan memotivasi kita untuk berbuat dalam kehidupan. 

 

Islam telah menetapkan, untuk memeluk agama ini amat bergantung pada pengakuan terhadap keimanan yang benar-benar muncul dari proses berpikir yang jernih. Inilah karakter khas dari keimanan dalam Islam. Siapa pun yang memiliki akal akan mampu membuktikan–hanya melalui keberadaan benda-benda yang dapat di inderanya–bahwa dibalik benda-benda tadi pasti terdapat Sang Pencipta (al-Khaliq) yang telah menciptakan seluruh benda-benda tadi beserta aturan-aturan yang menakjubkan tidak terkecuali akal itu sendiri.


Ayat-ayat tekstual didalam al-Qur’an pada hakekatnya merupakan ajakan untuk melihat dan memperhatikan benda-benda yang ada disekeliling manusia. Ajakan ini hendaknya dijadikan petunjuk akan adanya Al-Khaliq, sehingga keimanan kita didasarkan pada bukti dan dalil; iman yang mantap yang tidak akan tergoyahkan oleh siapa pun dan oleh sebab apa pun.

 

Dalam Islam, dalil (argumen) keimanan terbagi dua macam, yaitu dalil aqli dan dalil naqli. Dalil aqli adalah bukti yang diperoleh melalui akal (proses berpikir) sehingga seseorang akan membenarkan secara pasti rukun-rukun dalam akidah. Dalil naqli (samiy) adalah berita (khabar) yang pasti (qathiy) yang memberitahu kita mengenai rukun-rukun akidah

 

Adapun tema-tema akidah (rukun Iman) yang dapat dijangkau melalui dalil aqli hanya tiga macam, yaitu mengimani wujud Allah, mengimani bahwa Al-Quranul-Karim berasal dari sisi Allah, dan mengimani bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Selain tema-tema itu, rukun iman lainnya hanya dicapai melalui dalil naqli. Meskipun demikian, secara tidak langsung, keimanan seorang muslim tetap saja didasarkan pada bukti (akal), karena dalil naqli yang kita imani itu, telah dibuktikan melalui proses berpikir (akal).


Bukti keimanan akan adanya Allah, adanya sang Pencipta, dapat diperoleh dengan mengamati ciptaan-Nya. Menurut akal, tidak mungkin ada yang diciptakan tanpa ada yang menciptakannya. Jadi kalau ada yang diciptakan, pasti ada yang menciptakan.

 

Adanya alam semesta, kehidupan, dan  manusia merupakan bukti adanya Pencipta.

Sesungguhnya alam semesta (langit, bumi serta apa saja yang ada diantara keduanya), manusia (lengkap dengan semua struktur biologis penyusun dirinya termasuk struktur non fisik seperti akal dan perasaan didalamnya), serta kehidupan ini, hakikatnya diciptakan (berfungsi makhluk). Sebagai buktinya, ketiga unsur ini sangat terbatas dan saling membutuhkan. Sesuatu yang terbatas pasti membutuhkan sesuatu yang tidak terbatas. Artinya ketiga unsur ini pasti ada yang membatasinya, yang menciptakannya. Dialah Allah sang al-Khaliq.

 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya, malam dan siang  terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal. -Qs. 3 Ali Imran:190

 

Di antara tanda-tanda kekuasaannya adalah diciptakannya langit dan bumi serta  berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu. -Qs 30 Ar-Rum:22

 

Bagaimana bisa lalu timbul satu pemahaman bahwa akal bukan makhluk ? sementara akal sendiri adalah bagian dari diri manusia ? sesungguhnya pemahaman yang demikian hanya akan membuat akal sejajar dengan Allah selaku al-Khaliq. ; Akal merupakan hasil proses dari otak yang merupakan “benda” ciptaan ilahiah, sama seperti sinar yang merupakan hasil proses dari bintang atau matahari, tidak disebutkannya akal adalah makhluk bukan berarti kita harus menafikan kenyataan akal adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah melalui ilmu-Nya sama seperti sinar atau cahayapun tidak disebutkan sebagai makhluk dengan eksplisit, kita diajarkan didalam Islam untuk selalu mentauhidkan Dia, bahwa Dia memiliki sifat-sifat tidak terbatas, Dia Qiyamuhu Binafsihi dan lain sebagainya, cernalah semua keagungan-Nya itu dengan benar-benar membersihkan duri-duri kemusryikan sekecil apapun.

 

Akal tidak sempurna, akal baru berfungsi setelah menjalani proses-proses dalam tahapan kehidupan anak manusia (lihat surah 4 ayat 5) dan ini artinya akal bergantung kepada sesuatu yang lain diluar dirinya sendiri, apakah akal artinya bukan makhluk ? apakah akal tidak sama dengan manusia itu sendiri yang menjalani berbagai proses dalam tahapan perkembangannya sampai menjadi manusia sempurna (dewasa dan bisa berkarya?) Jika manusia adalah ciptaan Allah, jika manusia adalah makhluk, maka semua yang ada didiri manusia juga adalah bagian dari kemakhlukan dan bagian dari penciptaan. ; Diciptakannya pendengaran dan penglihatan (surah al-Insaan ayat 2) disebutkan sebagai sarana bagi manusia dalam memahami ilmu-Nya Allah (perintah maupun larangan), kedua panca indera itu tidak bisa difungsikan bila akal tidak berjalan, karena orang gila yang punya panca indera lengkap terbukti tidak mampu berpikir atau memahami kehidupan dengan baik, akhirnya manusia adalah ciptaan sebaik-baiknya dari Allah yang itupun tidak sekompleks penciptaan langit dan bumi.

 

Saya sekali lagi bukan pendewa akal, tapi saya juga bukan type orang yang menerima apapun tanpa saya perlu berpikir atau harus dogmatis, adanya ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat didalam al-Qur’an, juga adalah bukti bahwa al-Qur’anpun menghendaki kita berpikir jernih dalam mencerna ayat-ayatNya, tidak harus segalanya tercantum dengan jelas dalam al-Qur’an atau bahkan dalam sunnah Rasul-Nya sebab telah sampai kepada kita akan adanya satu riwayat mashur tentang pengutusan salah satu sahabat kesebuah negeri dimana Rasul pernah bertanya yang kurang lebih : bila engkau tidak mendapati satu masalah didalam kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, maka dengan apa engkau memutuskan ? maka disebutkan bahwa aku akan berijtihad. Dan pernyataan tersebut disepakati oleh Rasul SAW.; Ijtihad yang tentunya kitapun harus sepakat, tetap berlandaskan kitabullah sebagai acuan utama.

 

O.ya. saya ingat anda menyinggung juga tentang pengusapan (khuff) sepatu sebagai pengganti mencuci kaki saat wudhu yang dianggap tidak masuk akal, buat saya malah masuk akal sekali.

 

Bukankah maknanya sudah jelas untuk membersihkan kotoran dari sepatu ? sama seperti berwudhu … ya kita kembalikanlah kepada hakekat atau tujuan dasar sebuah perintah itu terjadi dan kearah sanapula hendaknya kita mengembangkan logika pemikiran kita.

 

Kenapa yang diusap adalah bagian atasnya dan bukan bawahnya ? karena jika bagian bawah bukan mengusap tetapi mencuci … sebab tidak mungkin menghilangkan kotoran yang melekat ditelapak sepatu hanya dengan mengusap saja, kotorannya pasti tidak akan hilang dengan sempurna. Yang kedua, saat kita sholat, duduk tahyat awal dan tahyat akhir, bagian yang mengena kepada diri kita adalah bagian atas sepatu dan bukan bagian bawah sepatu. Karena itu, bila kita sholat bersepatu, maka sapulah kotoran dibagian atas sepatu itu.

 

Demikian dari saya untuk masalah tersebut.

 

Mas Dani sah-sah saja mengelompokkan saya kepada satu kaum atau sekelompok orang tertentu didalam jemaah Islam, buat saya tidak masalah selama mereka memiliki pemandangan yang sama dengan saya dalam hal dimana saya dikelompokkan, saya tidak ambil pusing dengan penggolongan-penggolongan tersebut, dari dulu saya sudah akrab dihujat orang sebagai bagian dari muktazilah, bagian dari syi’ah … hal-hal demikian tidak membebani pikiran saya dalam beragama, yang jelas bahwa saya sendiri tidak memahami bahwa Islam harus bergolongan (titik).

 

 

Wassalamu’alaykum Wr. Wb.,

 

 

 

ARMANSYAH

http://armansyah.swaramuslim.net

https://arsiparmansyah.wordpress.com

http://rekonstruksisejarahisaalmasih.wordpress.com

 

—– Original Message —– From: “Dani Permana” <adanipermana@gmail.com>

To: <Milis_Iqra@googlegroups.com>

Sent: Monday, September 03, 2007 10:04 PM

Subject: [Milis_Iqra] Re: Kemuliaan akal menurut Islam